Sidang lanjutan kasus dugaan tindak pidana kehutanan dengan terdakwa Aldiko Putra, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Kuantan Singingi (Kuansing), memasuki babak baru dengan agenda pembacaan eksepsi atau nota keberatan dari pihak terdakwa. Dalam sidang yang digelar di Pengadilan Negeri Teluk Kuantan pada Kamis (10/4/2025), Aldiko Putra melalui kuasa hukumnya, Shelfy Asmalinda SH MH, dengan tegas membantah seluruh dakwaan yang dilayangkan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Shelfy dalam pembacaan eksepsinya menyampaikan lima poin utama yang menjadi dasar keberatan pihaknya terhadap surat dakwaan JPU. Poin pertama menyoroti ketidakcermatan dan ketidaklengkapan surat dakwaan dalam penerapan hukum. Menurut Shelfy, surat dakwaan tidak secara jelas menguraikan secara sistematis mengenai status legalitas kawasan hutan yang diperkarakan. Selain itu, pihak terdakwa mempertanyakan legitimasi petugas yang disebut dalam dakwaan, dengan menyatakan bahwa tidak dijelaskan apakah petugas tersebut bertindak dalam kapasitas resmi dan sah menurut hukum.
Lebih lanjut, eksepsi menyoroti ketidakjelasan uraian mengenai tindakan intimidasi atau ancaman yang dituduhkan, termasuk rincian waktu, tempat, bentuk perbuatan, serta identitas petugas yang menjadi korban beserta fungsi dan kedudukannya. Poin kedua eksepsi menyoroti bahwa tindakan yang didakwakan bukanlah merupakan unsur tindak pidana. Shelfy menekankan posisi Aldiko Putra sebagai seorang anggota DPRD Kuansing yang memiliki hak imunitas dalam menjalankan tugasnya, sebagaimana diatur dalam undang-undang.
Pihaknya berpendapat bahwa JPU dalam dakwaannya tidak mempertimbangkan hak imunitas yang melekat pada diri kliennya. Selain itu, kuasa hukum juga membantah terpenuhinya unsur “penggunaan kawasan hutan secara tidak sah”, dengan menyatakan bahwa terdapat alas hak kepemilikan tanah masyarakat di lokasi yang diperkarakan. Hal ini mengindikasikan adanya potensi tumpang tindih klaim kepemilikan lahan yang seharusnya dipertimbangkan dalam proses hukum.
Keberatan ketiga yang disampaikan adalah bahwa surat dakwaan dinilai prematur dan tidak didukung oleh alat bukti yang cukup. Pihak terdakwa mempertanyakan dasar dan validitas alat bukti yang digunakan JPU dalam menyusun dakwaan, mengindikasikan adanya keraguan terhadap kekuatan pembuktian yang dimiliki oleh pihak penuntut.
Dua poin terakhir dalam eksepsi menyoroti adanya penambahan pasal dalam dakwaan yang tidak pernah diperiksa di tingkat penyidikan. Shelfy menyebutkan bahwa Pasal 233 KUHP dan Pasal 335 ayat (1) KUHP yang turut didakwakan kepada kliennya tidak pernah menjadi bagian dari proses pemeriksaan di tingkat penyidikan kepolisian. Hal ini menurut pihak terdakwa merupakan pelanggaran terhadap hak-hak terdakwa dalam proses hukum, karena terdakwa tidak memiliki kesempatan untuk memberikan keterangan atau membela diri terkait pasal-pasal tambahan tersebut selama proses penyidikan.
Menanggapi eksepsi yang dibacakan oleh kuasa hukum Aldiko Putra, JPU menyatakan akan menyampaikan tanggapan pada sidang berikutnya yang dijadwalkan pekan depan. Sidang yang berlangsung cukup singkat ini dihadiri oleh sejumlah pendukung Aldiko Putra dan awak media yang ingin mengawal perkembangan kasus ini. Kasus yang menjerat anggota DPRD Kuansing ini bermula dari dugaan aktivitas di kawasan hutan yang kemudian berujung pada penetapan Aldiko Putra sebagai tersangka. Pihak kepolisian sebelumnya telah melakukan penyelidikan dan penyidikan terkait dugaan pelanggaran hukum di kawasan hutan tersebut.
Dengan dibacakannya eksepsi ini, proses hukum memasuki babak baru di mana pihak terdakwa secara terbuka menyampaikan pembelaannya terhadap dakwaan yang diajukan. Kasus ini menjadi perhatian publik di Kuansing, mengingat status terdakwa sebagai seorang wakil rakyat dan isu terkait pengelolaan kawasan hutan yang sensitif.