Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) Republik Indonesia menemukan kelebihan pembayaran di sejumlah kegiatan DPRD Kuantan Singingi (Kuansing) pada Tahun Anggaran 2024. Temuan ini mengejutkan publik, mengingat total kelebihan bayar mencapai Rp1,7 miliar yang melibatkan 35 anggota DPRD aktif dan 20 mantan anggota DPRD Kuansing periode 2019-2024 serta 2025-2029.
Kelebihan pembayaran tersebut mencakup Tunjangan Komunikasi Intensif (TKI), Tunjangan Reses (TR), serta Dana Operasional (DO) Pimpinan. Temuan ini terungkap setelah BPK menayangkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) terhadap penggunaan anggaran di Sekretariat DPRD Kuansing TA 2024.
Kepala Inspektorat Kuansing, Andi Zulfitri, menegaskan bahwa pihaknya telah menindaklanjuti LHP BPK dengan menyurati Sekretariat DPRD Kuansing. Para anggota dewan dan mantan anggota DPRD diberikan waktu 60 hari untuk mengembalikan kelebihan bayar tersebut terhitung sejak LHP keluar.
Andi juga mengingatkan pentingnya kepatuhan terhadap rekomendasi BPK, mengingat Inspektorat sendiri diawasi oleh BPK. Besaran kelebihan bayar yang harus dikembalikan oleh masing-masing anggota dan mantan anggota DPRD bervariasi, mulai dari jutaan hingga puluhan juta rupiah.
Desta Harianto, anggota DPRD Kuansing yang masih menjabat, mengakui telah menerima pemberitahuan mengenai kewajiban pengembalian. Ia menilai kelebihan bayar ini sebagai kesalahan administrasi yang tidak disengaja dan berkomitmen untuk mematuhi rekomendasi BPK.
Desta sendiri harus mengembalikan Rp49.980.000, dengan rincian TKI Rp42.840.000 dan TR Rp7.140.000. Hal serupa juga dialami oleh mantan anggota DPRD Kuansing.
Sutoyo, salah satu dari 20 mantan anggota dewan yang diminta mengembalikan uang negara, mengaku belum mendapat informasi resmi, namun menegaskan akan mematuhi rekomendasi BPK. Sutoyo, yang juga politisi Golkar, wajib mengembalikan jumlah yang sama dengan Desta Harianto.
Fenomena “kompak”nya para wakil rakyat Kuansing dalam mengembalikan uang negara ini memicu pertanyaan publik. Berdasarkan informasi yang diterima riauin.com, ternyata pemicu utama adalah kemampuan keuangan daerah Kuansing yang tergolong “rendah” atau “kere”.
Hal ini merujuk pada Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan dana transfer dari pemerintah pusat, setelah dikurangi belanja pegawai, yang berada di bawah batas minimal Rp300 miliar.
Aturan mengenai klasifikasi kemampuan keuangan daerah ini termaktub dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2017 tentang Hak Keuangan dan Administratif Pimpinan dan Anggota DPRD, serta dipertegas oleh Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 62 Tahun 2017.
Regulasi ini mengelompokkan kemampuan keuangan daerah menjadi tinggi, sedang, dan rendah, dengan implikasi langsung pada besaran tunjangan yang boleh diterima oleh para legislator.
Dengan demikian, hasil audit BPK disinyalir menemukan adanya pembayaran tunjangan yang melebihi batas sesuai dengan kategori kemampuan keuangan daerah Kuansing yang sebenarnya. Hal ini memaksa para anggota dan mantan anggota DPRD untuk mengembalikan kelebihan dana yang telah diterima, demi mematuhi aturan perundang-undangan yang berlaku.