Pedoman itu dapat dijadikan pertimbangan pembentuk Undang-Undang (UU) dalam merisetiopn UU Pemilu agar jumlah pasangan calon presiden dan wakil presiden tidak semakin mengalami peningkatan.
Dosen Universitas Mulawarman: Penghapusan Ambang Batas Presidenial Berpotensi Tingkatkan Partisipasi Pemilih
Salah satu hal yang diatur dalam petunjuk tersebut adalah partai politik yang berpartisipasi dalam pilpres boleh membentuk aliansi untuk mendukung pasangan calon presiden dan wakil presiden. Namun, aliansi itu tidak boleh menyebabkan terjadinya keseragaman partai politik sehingga hanya menyebabkan terpilihnya pasangan presiden dan wakil presiden yang terbatas serta terbatasnya pilihan bagi pemilih.
Dari fraksi Golkar Ahmad Irawan mengatakan, DPR dan Presiden Prabowo Subianto akan menjadikan lima pertimbangan itu sebagai rambu-rambu untuk menyusun kerangka konstitusional. Kerangka itu berkaitan dengan pembatasan supaya tidak terjadi dominasi partai politik dalam mengusung calon presiden dan calon wakil presiden.
Menurut Ahmad, putusan MK tidak boleh mengizinkan rekayasa konstitusional dengan menerapkan pembatasan tersebut mengenai ukuran kursi, suara, maupun aturan yang boleh-boleh saja ada dominasi partai. Di luar itu, masih boleh ada berbagai model rekayasa konstitusional yang diperbolehkan.
“Karena ada hal yang paling mendasar yang tidak boleh kita lakukan, yaitu menggunakan ukuran kursi dan suara. Poin yang kedua adalah tidak boleh mengatur soal dominasi. Garis besar sudah akan tetap di situ. Model penggabungannya bisa berbeda di luar itu,” kata Ahmad saat dihubungi, Ahad, 5 Januari 2025.
Ahmad berpendapat, dapat mengadopsi rekayasa konstitusional dengan menerapkan model pembatasan dominasi partai politik dari presiden dan wakil presiden. Menurut Ahmad, ada tiga model yang bisa dipertimbangkan.
Model pertama, partai politik yang mengusung capres dan cawapres hanya pemilihan umum yang dipilih KPU. Namun, model ini memiliki kekurangan. Sebab, partainya pemilihan umum untuk tahun 2029 belum diketahui.
Model kedua, pencegahan pembatasan dengan menerapkan dukungan maksimum. Kuota partai politik misalnya bisa ditetapkan maksimum 60 atau 70 persen untuk mengusung pasangan calon. “Atau, diatur agar tetap harus tersedia lawan,” kata Ahmad.
Namun, Ahmad mengatakan, model ini juga memiliki kekurangan. Menurutnya, partai politik pasti akan mendukung pasangan calon yang peluang menangnya besar. “Misalnya dia melihat dari survei bagus. Maka tidak mungkin memberi dukungan kepada calon yang kalah. Jadi ada kemungkinan pasangan tertentu didukung dominan oleh partai,” kata Ahmad.
Model ketiga dapat mengikuti sistem koalisi partai di Jerman. Disana, konselr diputuskan oleh partai pemenang pesta pemilu atau partai besar. Menurut Ahmad, Indonesia juga bisa menerapkannya.
“Apakah kursi nomor satu dan dua mengumumkan calon presiden. Partai lainnya bisa mengajukan calon wakil presiden atau bagaimana. Yang pasti partai-partai besar yang menentukan,” kata Ahmad.
Meski begitu, Ahmad mengatakan, model-model itu masih perlu dianalisis. Sebab, model itu memiliki keunggulan dan keterbatasan. Namun, menurut Ahmad, pada dasarnya, ketiga model itu tidak melanggar hak partai politik yang tertuang dalam Pasal 6A ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Pasal itu berisi bahwa pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.
Golkar sendiri, kata Ahmad, masih melakukan kajian atas rencana rekayasa konstitusi tersebut. Menurut Ahmad, kajian memerlukan waktu yang lama karena merupakan isu besar. Kajian ini menyinggung pula isu pemilihan legislation hingga syarat partai politik. “Jadi tidak bisa dibahas netral. Tapi merupakan paket demokrasi, pemilu, dan kepemerintahan. Harus dikaji secara mendalam,” kata Ahmad.
.
Dalam pertimbangannya, Wakil Ketua Mahkamah Saldi mengatakan syarat ambang batas presiden sebesar apapun persentasenya adalah bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
Menurut Mahkamah, mengizinkan ketentuan ambang batas tersebut tetap ada hanya akan memberikan dampak terbatas bagi calon presiden dan wakil presiden yang bisa didaftar. Apabila tidak dihapus, kemungkinan besar pemilu akan diikuti oleh calon tunggal juga.
Ia menjelaskan, jika hak tersebut terjadi maka makna hakiki dari Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 akan hilang atau tidak kurang lebihnya bergeser dari salah satu tujuan yang hendak dicapai dari perubahan konstitusi.
“Dengan itu, pelaksanaan kedaulatan rakyat dan partisipasinya dapat meluas seiring perkembangan demokrasi,” ujar Saldi.
Dalam Pasal 222 UU Pemilu telah diungkapkan sebagai tidak-konstitusional, MH meminta harus tetap mempertimbangkan potensi jumlah pasangan calon presiden dan wakil presiden sama dengan jumlah partai politik peserta pemilu.
Hal itu berkaitan dengan Indonesia sebagai negara yang memiliki sistem presidensial yang sebenarnya berkembang dalam bentuk model kepartaian yang beragam (multi-party system).
Meski mengakui hak partai politik yang peserta pemilu untuk secara konstitusional mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden, MK berharap revisi UU Pemilu mencakup aturan yang melarang pasangan calon dengan jumlah yang banyak sehingga tidak merusak prinsip langsungnya pemilu presiden dan wakil presiden oleh rakyat.
berkontribusi dalam tulisan ini.
Diprediksi juga akan melibatkan Jusuf Kalla (JOKOWI/JK).