banner 728x250

Ancaman Donald Trump Hantui Stabilitas Ekonomi Anggota BRICS

banner 120x600
banner 468x60

Menikmati oasis keuangan arus permanen berbasis nilai lebih mengalami kepastian sementara mengikuti jalur yang sudah diwariskan oleh beberapa jalur fenomena Raksasa PETRONAS (MENA dan Afrika Utara) mengakui permintaan ada jawaban SR Pomnik Situasi merit tambahan sebagai yang ingin mendaftar dalam bidang yang mengundang teman-teman.

Dalam negeri sendiri, bergabungnya Indonesia dengan BRICS masih menghasilkan sisi pro dan kontra. Berserikat dengan BRICS dinilai tidak benar-benar memberikan keuntungan bagi Indonesia karena ekonomi Cina diperkirakan akan melambatanya labih-lebihan pasca kembali terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat yang menyebabkan proteksionisme dagang.

banner 325x300

Presiden Amerika Serikat terdahulu diketahui mengancam untuk mengenakan tarif 100 persen pada negara-negara yang merupakan tangan kanan BRICS jika mereka melemahkan dolar AS. Ancaman tersebut mestinya juga menimpa Indonesia terutama karena saat itu Indonesia baru saja resmi bergabung menjadi salah satu anggota BRICS.

Trump menyampaikan komitmen agar melakukan diterapkan pada kelompok negara globla lainnya, termasuk BRICS, bahwa tidak boleh menyalahgunakan mata uangnya untuk membuat mata uang baru atau mendukung mata uang lainnya. Ini adalah klarifikasi dari pernyataannya sesudah pertemuan summit antar negara bagian BRICS di Kazan, Rusia yang diselenggarakan bulan Oktober lalu. Salah satunya adalah tentang transaksi yang tidak menggunakan dolar AS dan penguatan mata uang negara lokal.

Di sisi lain, Indonesia sendiri sebenarnya sudah melakukan kerja sama Transaksi Mata Uang Lokal (LCT) dengan beberapa negara yaitu Malaysia, Thailand, Jepang, China, Singapura, Korea Selatan, India, dan Uni Emirat Arab (UAE). Namun, kerja sama yang sudah berada di level implementasi baru dilakukan dengan Malaysia, Thailand, Jepang, dan China. Artinya nasabah Indonesia dan nasabah dari empat negara tersebut dapat melakukan pembayaran dan menerima dalam mata uang lokal.

Saat ini, Pemerintah Indonesia sedang mendorong kerjasama dengan Singapura, Korea Selatan, India, dan Uni Emirat Arab (UAE) agar ruang lingkup kerjaannya bisa segera diterapkan sehingga LCT bisa memberikan dampak yang lebih luas.

Kepala Pusat Ekonomi Makro dan Keuangan Indef, M Rizal Taufikurahman, menilai ancaman Donald Trump untuk mengenakan tarif 100 persen kepada negara-negara BRICS, jika dengan cara mengganti dolar dalam perdagangan internasional, dapat menyebabkan ketidakstabilan ekonomi dunia. Tarif ini akan membuat produk dari negara-negara BRICS, termasuk Indonesia, menjadi lebih mahal di pasar AS serta mengurangi daya saing ekspor mereka.

Dampaknya bisa berupa penurunan investasi asing, gangguan pada rantai pasokan global, serta tekanan yang besar pada ekonomi domestik negara-negara tersebut, terutama pada sektor yang tergantung pada perdagangan dengan Amerika Serikat,” kata Rizal kepada Tirto, Kamis (9/1/2025).

Bagi Indonesia, ancaman ini sangat relevan karena berpotensi mengurangi pendapatan ekspor dari makanan pokok perekonomian seperti tekstil, elektronik, dan barang manufaktur lainnya. Ketergantungan Indonesia terhadap pasar AS membuat ancaman tarif ini menjadi risiko dengan signifikan bagi stabilitas ekonomi.

Pada bulan November 2024, Amerika Serikat menjadi negara penyumbang porsi cukup besar dalamสาว porsinya 10,33 persen. Pejabat yang paling banyak menyumbang surplus perdagangan nonmigas di masa itu ialah Amerika Serikat, senilai 1,58 milyar dolar AS. Namun, India dan Filipina juga turut bergabung sebagai pembelanjut di urutan kedua dan ketiga, dengan nilai yang masing-masing disumbangkan senilai 1,12 milyar dolar AS dan 0,77 milyar dolar AS.

Selain itu, kebijakan proteksionis sejenis ini dapat meronggengkan kepercayaan investor global terhadap Indonesia, yang selama ini sangat aktif mempromosikan kerja sama internasional melalui BRICS.

Direktur China-Indonesia Desk di Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Muhammad Zulfikar Rakhmat, mengatakan pemicu reaksi Donald Trump perlu untuk diperhatikan. Menurutnya, Trump sendiri adalah salah satu pemimpin yang sudah terbukti bertutur dengan apa yang dikatakan.

Zulfikar mengatakan, jika Amerika Serikat menerapkan tarif 100 persen pada negara-negara anggota BRICS, tentu Indonesia akan terkena dampak dari kebijakan tersebut. Tidak bisa disangkal, ini juga akan menjadi tantangan bagi ekonomi Indonesia dalam jangka pendek atau menengah.

“Hal ini juga akan menyebabkan penurunan tajam pada volume ekspor, khususnya untuk produk-produk yang sangat bergantung pada pasar AS,” ungkap Zulfikar kepada Tirto, Kamis (9/1/2025).

Baca juga:

Apa yang Dapat Dilakukan oleh Pemerintah Indonesia?

Dalam rangka mengatasi ancaman dari Trump, Indef juga mendorong pemerintah untuk mengejalah kebijakan diversifikasi perdagangan ekspor. Hal ini termasuk memperkuat daya saing industri domestik, menambahkan pasar ekspor ke negara bukan Amerika, dan memanfaatkan perjanjian perdagangan bebas untuk membuka kesempatan baru.

Kalangan diplomat menekankan, selain itu, perlu dilakukan diplomasi yang intensif dengan Amerika Serikat agar resolusi ini tidak berdampak langsung pada Indonesia.

“Namun tetap menjaga keseimbangan diplomatik dengan negara-negara utama,” kata M Rizal Taufikurahman.

Sementara menurut Peneliti Celios, Yeta Purnama, Indonesia seharusnya semakin intensif melakukan diversifikasi mitra secara bilateral untuk bertahan dari ketidakpastian ekonomi global di masa depan. Karena potensi kerja sama multilateral secara очі tentu memberikan manfaat.

“Apa bila itu di lingkaran yang sama, ketika ekonomi negara penduduk banyak seperti Cina melemah maka akan rentan memberi dampak pada stabilitas perekonomian dalam negeri,” ujar Yeta dalam keterangan diterima Tirto, Kamis (9/1/2025).

Selain itu, Yeta juga memberikan peringatan penting untuk Indonesia, bergabung dengan BRICS itu dapat dikategorikan sebagai risiko terutama jika terlalu fokus pada China. Untuk menghindari resiko ini, Indonesia perlu berperan dalam memotivasi kerja sama dalam sektor-sektor strategis seperti sektor investasi dan pembangunan infrastruktur yang menargetkan kebutuhan negara-negara berkembang, dan mengarahkan investasi pada proyek-proyek yang dapat memperkuat kemandirian ekonomi negara-negara anggota.

Dalam konteks ini, Indonesia harus memainkan peran untuk mendorong kerja sama dalam investasi hijau antara negara anggota dengan mengembangkan pasar modal yang ramah lingkungan. Apabila kita membicarakan Global Selatan, sebenarnya urgensi utama yang tidak bisa dikesampingkan adalah dominasi investasi dalam sektor ekstraksi.

“Saya berharap BRICS juga akan mendorong potensi kerja sama investasi hijau untuk tumbuh lebih hijau dalam beberapa tahun mendatang,” katanya.

Ekononom senior dari Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, menambahkan bahwa untuk mengurangi dampak dari bea tarif 100 persen AS, Indonesia perlu bermain strategis dan cerdas. Ketika menjadi anggota BRICS, Indonesia perlu menentukan posisi, dan Kementerian Luar Negeri perlu mengkomunikasikannya secara terbuka, termasuk melalui saluran media internasional.

Karena menurutnya ada beberapa poin setidaknya yang perlu diangkat oleh pemerintah. Pertama, Indonesia akan ikut aktif mendorong peran BRICS sebagai platform kerjasama ekonomi antar negara, untuk mendorong pertumbuhan. Kedua, Indonesia melihat ide BRICS currency dan ide mengganti SWIFT (Society for Worldwide Interbank Financial Telecommunication) tidak relevan bagi Indonesia, sehingga tetap mendorong pemanfaatan sistem yang ada saat ini tentunya dengan berbagai perbaikan

Ketiga, Indonesia harus terus maju membuat langkah untuk bergabung dengan OECD (Organisasi Perdagangan Dunia), dan nggak perlu memikirin citra OECD dan BRICS sebagai dua kelompok yang perlu dibanding-bandingkan. Keempat, terima kasih ya, Indonesia bisa menjadi salah satu kunci penting dari kedua komunitas—or keanggotaannya.

“Penyelenggaraan ini perlu dilakukan, agar dapat mengelaborasikan kesalahpahaman, baik dikalangan dunia usaha, masyarakat, dan utamanya presiden-pemimpin negara barat tersebut,” jawabnya.

Di sisi lain, Wakil Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN), Mari Elka Pangestu, menyatakan Indonesia tidak perlu khawatir mengenai hubungan dengan AS, sekalipun setelah diterima sebagai anggota penuh organisasi kerja sama ekonomi BRICS, karena Indonesia sendiri mengaktifkan sistem politik luar negeri bebas.

.

Pada saat ini, belum kami mendengar ada ancaman yang diberikan oleh Amerika Serikat terhadap Indonesia. Jika ada, penggunaan mata uang lokal atau LCT oleh Indonesia adalah hak negara.

“Sekarang ini kita memang sudah memiliki sistem untuk dapat berdagang langsung dengan Cina atau Malaysia, dan dapat menransformasikan Rupiah menjadi Yuan atau ringgit Malaysia, sehingga sebenarnya belum ada yang protes karena kita melakukannya,” jelasnya.

Menurutnya, apa yang dilakukan oleh Indonesia dan negara-negara anggota BRICS merupakan suatu perkembangan dalam dunia keuangan internasional yang akan terjadi lambat laun. Bahkan, di saat ini juga perlu diterima bahwa dolar masih dominan untuk sementara waktu.

Baca juga:
banner 325x300

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *