Penegak hukum diminta untuk mengusut defisit APBD Provinsi Riau yang mencapai Rp.3,5 Triliun. Aktivis pendidikan, Erwin Rodimart Sitompul S.Pd, menilai bahwa defisit tersebut disebabkan oleh tata kelola pemerintahan yang tidak sesuai regulasi. Menurut Erwin, ada dugaan tata kelola keuangan yang offside karena kuatnya kepentingan politik pilkada sebelumnya.

Erwin mendesak KPK untuk turun langsung dalam mengusut persoalan ini. Dia menegaskan bahwa KPK perlu melakukan pemeriksaan mendalam terhadap kebijakan dan penggunaan anggaran pada masa politik sebelumnya. Persoalan ini, menurutnya, hanya akan terungkap melalui pemeriksaan yang mendalam.

Pengamat pemerintahan dan sosial, Intsiawati Ayus, juga mengkritisi defisit anggaran yang mencapai Rp3,5 triliun. Sebagai mantan anggota DPD RI, Intsiawati menegaskan bahwa DPRD Riau seharusnya mengetahui defisit tersebut. Dia menyoroti peran penting DPRD dalam pengelolaan anggaran daerah.

Menurut Intsiawati, DPRD memiliki fungsi dalam pembahasan KUA, PPAS, rancangan APBD, perubahan APBD, serta pertanggungjawaban pelaksanaan APBD. Fungsi ini bertujuan untuk memastikan penggunaan anggaran yang efektif dan sesuai aturan serta untuk menghindari pemborosan atau penyimpangan. Namun, dengan defisit yang semakin meningkat, Intsiawati mempertanyakan apakah fungsi pengawasan DPRD telah dijalankan dengan baik.

Defisit anggaran yang semakin membengkak juga menunjukkan bahwa masalah keuangan Pemprov Riau saat ini merupakan warisan dari pemerintahan sebelumnya. Intsiawati menekankan pentingnya tindakan tegas dari Gubernur Riau Abdul Wahid dalam menindak dugaan pelanggaran.

Intsiawati juga menyoroti bagaimana defisit yang semakin meningkat dari Rp1 triliun hingga Rp3,5 triliun menunjukkan adanya masalah dalam pengelolaan keuangan sebelumnya. Dia menekankan pentingnya penegakan hukum apabila terdapat unsur penyalahgunaan anggaran untuk mencegah kerugian lebih lanjut bagi masyarakat Riau.