Program Makan Bergizi Gratis (MBG) secara resmi diluncurkan secara bertahap di 26 provinsi di Indonesia pada Senin (6/1) yang lalu. Dengan anggaran per hari dipatok sebesar Rp 10.000 per porsi. Banyak yang membagikan bagaimana menu MBG di berbagai daerah, mulai dari sayur-mayur, lauk-pauk, hingga nasi.
Dosen Gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM), Universitas Airlangga (Unair), Lailatul Muniroh SKM MKes menanggapi. Menurutnya, beberapa menu MBG belum sesuai dengan pedoman Isi Piringku yang dicanangkan oleh Kementoerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes).
“Saya mendapatkan contoh menu MBG di Sidoarjo kemarin. Jika dilihat sekilas, tampaknya belum memenuhi isi piringku. Tidak ada sayuran, tidak ada lauk, bahkan protein hewani pun sedikit saja, begitupun buahnya. Secara kuantitas belum mencapai 40% total kalori sehari, dan secara kualitas pun belum sesuai,” kata Lailatul, (14/1).
Isi Piringku merupakan pedoman yang disusun oleh Kementerian Kesehatan untuk menyokong penggunaan makanan yang sesuai dengan pedoman gizi seimbang. Dalam setiap kali makan, setengah piring harus diisi dengan sayur dan buah, sedangkan setengah lainnya diisi dengan makanan pokok dan lauk.
Dia juga menambahkan bahwa prinsip makan bergizi adalah beragam, seimbang, aman, dan sesuai kebutuhan.
“Sekalung sehat yang seimbang harus memenuhi kebutuhan nutrisi. Baik karbohidrat, protein, lemak, dan melembabkan kebutuhan vitamin, mineral, serat, dan air,” katanya.
Masyarakat juga menjadikan makanan dengan sumber kalsium, seperti susu, tidak hadir dalam program MBG di beberapa daerah atau sekolah. Padahal, susu kaya akan kandungan gizi seperti kalsium, protein, vitamin D, vitamin A, besi, dan magnesium.
Lailatul, seorang ahli gizi, setuju dengan hal tersebut. Menurutnya, susu sangat baik dan diperlukan pada masa pertumbuhan anak. Namun, ternyata susu tidak ada dalam menu bangku gizi di beberapa sekolah, dan alternatifnya dapat digantikan dengan makanan yang kaya akan kalsium.
“Untuk alternatif lain, harus disiapkan contohnya produk susu olahan seperti yogurt atau keju, sumber nabati yang mengandung banyak kalsium. Seperti tempe, sayuran hijau, ataupun sumber hewani seperti ikan teri, sarden, telur, dan daging ayam,” kata Bapak/Ibunya.
Namun demikian, Lailatul juga menekankan pentingnya memastikan, apakah pilihan tersebut tetap bergizi seimbang dan dapat diterima oleh siswa.
“Oleh tadi pula, kebutuhan gizi mereka masih terpenuhi meskipun tanpa adanya air susu,” ajaknya.
Program MBG dapat menjadi langkah kecil untuk kesejahteraan masyarakat. Namun, evaluasi dan upgrade program dari hari ini sangat diperlukan. Menurut Lailatul, perlu ada evaluasi dan perbaikan secara berkala karena kenyataan di lapangan tentu saja lebih sulit.
Evaluasi keberhasilan program Makanan Beribox dapat dilakukan dengan mempertimbangkan aspek pengadaan dan pengelolaan, proses, hasil, dampak, serta evaluasi untuk masa yang akan datang. Pada aspek pertama, perlu adanya evaluasi akan tersedianya dan kualitas makanan, serta kenyamanan dari penerima program Makanan Beribox.
“Mulai dari berapa banyak siswa yang mendapatkan makanan apakah sudah sesuai dengan target, kandungan gizi pada menu berdasarkan arahan Isi Piringku. Kemudian tingkat penerimaan siswa terhadap rasa dan variasi makanan, kepuasan guru, siswa, dan orang tua, serta tingkat keluhan terkait dengan cara penyampaian makanan.”
Kemudian, output program juga harus mendapat perhatian. Mulai dari persentase makanan yang dimakan dan dibuang oleh siswa (analisis sampah piring), serta jumlah siswa yang memakan semua komponen makanan yang ada di piring.
Dalam aspek dampaknya, Laila menyoroti minimal ada tiga indikator yang perlu dievaluasi. Mulai dari status gizi pada anak, prestasi akademik dan kesehatan, serta kesadaran gizi.