Status kawasan hutan lindung Bukit Batabuh yang menjadi objek perkara dalam kasus Aldiko Putra semakin menuai pertanyaan di persidangan. Saksi ahli dari Badan Pengawas Kehutanan dan Pembangunan (BPKH), Muhammad Fadli, mengungkapkan bahwa area tersebut baru berstatus kawasan dan belum ditetapkan secara resmi, memicu kekhawatiran Majelis Hakim tentang kepastian hukum bagi masyarakat.
Fadli menjelaskan tahapan pengukuhan hutan meliputi penunjukan, penataan batas, pemetaan, hingga penetapan kawasan. Kawasan hutan di Riau, termasuk Bukit Batabuh, baru mencapai tahap penataan batas kawasan. Ia merujuk pada Peraturan Daerah (Perda) tahun 2024 yang mengatur spesifik kawasan Bukit Batabuh, namun tetap menegaskan bahwa penetapan resmi belum terlaksana.
Kuasa hukum terdakwa Aldiko Putra, Fredi Budi Setiawan SH MH, mempertanyakan nasib sertifikat hak milik (SHM) perorangan yang berada di dalam kawasan tersebut dan telah dikuasai lebih dari 20 tahun untuk perkebunan atau tambak. Fredi ingin tahu sanksi yang akan diterima masyarakat pemilik SHM jika pengelolaan dilakukan tanpa surat keputusan menteri dan tahapan instansi terkait.
Fadli tidak dapat menjawab pertanyaan tersebut, beralasan bahwa itu ranah penegakan hukum. Hal ini kontras dengan keterangan ahli penegakan hukum sebelumnya, Agus Suryoko SH MH, yang justru menyarankan langkah preventif mengingat adanya SHM di lokasi tersebut.
Ketua Majelis Hakim menyatakan harapannya agar Kementerian Kehutanan dan seluruh pemangku kepentingan terkait mencari penyelesaian atas permasalahan kawasan hutan yang tumpang tindih dengan SHM. Tujuannya adalah agar masyarakat tidak menjadi korban pemidanaan dan harus mendapatkan kepastian hukum atas tanah yang mereka miliki.
Ketidakjelasan status hukum kawasan hutan ini berpotensi membuka babak baru dalam penanganan kasus serupa di Indonesia, di mana hak masyarakat dan regulasi kehutanan seringkali berbenturan.