Pada 2 Januari 2025, Mahkamah Konstitusi (MK) membuat keputusan penting untuk agar politik atau demokrasi di Indonesia lebih baik.
.
Tertariknya, keputusan tersebut memberikan energi seluruhnya petisi dari mereka yang merupakan pemuda generasi Z, yaitu empat mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
Empat calon istilah keempat mengajukan pertanyaan tentang pengujian materi Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum (Pemilu) yang berkaitan dengan ambang batas presiden sebagaimana tertulis dalam Pasal 222.
Dari surat permohonan yang dikeluarkan MK, 23 Februari 2024, empat mahasiswa tersebut adalah Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, dan Tsalis Khorul Fatna.
Saya tidak menemukan teks asalnya.
.
Menariknya, Empat mahasiswa yang tergabung dalam Komunitas Pemerhati Konstitusi menyebutkan bahwa melalui proses yang panjang sebelum akhirnya permohonan mereka ditolak oleh MK.
Tsalis Khoirul Fatna mengungkapkan, proses persidangan yang diproses ini telah berlangsung paling tidak satu tahun dan dimulai pada tanggal 24 Februari 2024.
“Kami sebenarnya masih siswa dan jadi mahasiswa selama separuh tahun. Makanya di masa itu, kita ditanya tujuh kali seminar, ya. Maaf, sepertinya empat kali seminar sampai putusan ini,” kata Tsalis Khoirul Fatna dalam berita pers di Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga pada Jumat, 3 Januari 2025
Bahkan, selama proses persidangan itu, ternyata keempat applicant yang merupakan mahasiswa Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini sedang menjalani PKn.
“Ya, sampai putusan ini kita ada tujuh kali sidang,” ungkapnya. “Dan di antara sidang kedua dan ketiga, masa-masa KKN kita lagi.”,
Nana, yang lebih dikenal dengan Tsalis Khoirul Fatna, mengungkapkan bahwa mereka tidak menggunakan kuasa hukum selama proses penyelidan MK.
“Kami di sini tidak menggunakan kuasa hukum ya, karena kami masih seorang mahasiswa belum mampu untuk menggaji seorang kuasa hukum,” katanya.
Karena terbatas dan lain-lain hal, katanya lagi.
Sementara itu, Enika Maya Oktavia mengemukakan alasan permohonan uji materi tidak diajukan sebelum pilpres (pemilihan presiden).
“Sederhana saja jawabannya bahwa semakin dekat dengan Pilpres maka tekanan-tekanan politik itu akan semakin luar biasa,” kata Enika Maya Oktavia dalam jumpa pers yang sama.
(Mengujicobakan materi) ke pengadilan mahkamah konstitusi (MK) hanyalah upaya perjuangan akademik dan perjuangan advokasi konstitusional sehingga permohonan diajukan setelah pemilu presiden.
“Kami di sini menekankan bahwa perjuangan kami adalah perjuangan akademik, perjuangan advokasi konstitusional. Oleh karena itu, kami mencerminkan hal tersebut sebabkan membuat permohonan setelah Pilpres,” katanya.
Selain itu, ia mengatakan, salah satu alasan lainnya adalah agar putusan MK tidak dipengaruhi oleh politik menjelang pilpres.
“Kami menginginkan kajian-kajian yang dilakukan Mahkamah Konstitusi tidak dipengaruhi oleh faktor politik, melainkan benar-benar kajian ilmiah, benar-benar telaahan substansi hukum dan hal ini telah terbukti,” katanya.
Tepatnya, menurut Enika, keinginan mereka terwujud karena keputusan MK yang benar-benar sesuatu yang baru dan baik bagi demokrasi Indonesia.
“Sama seperti harapan kita semua, ada angin segar bagi demokrasi Indonesia. 32 putusan Mahkamah Konstitusi sebelumnya mengatakan tidak disetujui dan ditolak permohonan-permohonan tersebut, kemudian di permohonan ke-33 ini, akhirnya Mahkamah Konstitusi dapat mengabulkan keinginan dari masyarakat Indonesia itu sendiri,” ujarnya.
Saya tidak menemukan teks untuk difrasa. Bantu saya dengan memberikan teks yang ingin Anda parafrazed.
“MengucapkanPasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuasaan hukum yang mengikat,” kata Ketua MK Suhartoyo dalam sidang di gedung MK, Jakarta, Kamis (2/1/2025).
”.
Dalam pertimbangan hukum, Ketua Mahkamah Konstitusi Saldi Isra mengatakannya bahwa Pasal 222 dari UU Nomor 7 Tahun 2017 yang mengatur ambanglah batas syarat pencalonan bertentangan dengan hak rakyat dan hak politik.
“Pergeseran pendirian tersebut tidak hanya menyangkut besaran atau angka persentase ambang batas, melainkan hal yang lebih dasar adalah sistem ambang batas pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) apa adanya besaran atau angka persentasenya bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” ujar Saldi Isra saat membacakan pertimbangan hukum dalam putusannya.
Saldi juga mengatakan, ambang batas presiden juga melanggar moralitas dan keadilan.
“Tapi, juga melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang tidak tertahankan serta nyata-nyata bertentangan dengan UUD NRI tahun 1945,” ujar Saldi
Selain membatasi hak politik terkait maju sebagai calon presiden dan wakil presiden, Mahkamah menilai bahwa hadiah ambang batas berdampak pada terbatasnya hak konstitusional pemilih untuk mendapatkan alternatif yang memadai terkait pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Saat itu, MK mengemukakan, telah siap menilik sejumlah pilihan presiden dan wakil presiden sebelumnya yang kala itu banyak dimonopoli oleh partai politik peserta pemilu tertentu dalam penunjukan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
tersedianya kecenderungan untuk selalu mencoba mengupayakan supaya setiap pemilu presiden dan wakil presiden hanya memiliki dua pasangan calon.
Padahal, menurut Mahkamah, pengalaman sejak penyelenggaraan pemilihan langsung menunjukkan, dengan hanya dua pasangan calon presiden dan wakil presiden, “akar rumput” mudah terjebak dalam polarisasi (masyarakat yang terbelah) yang sekiranya tidak diantisipasi mengancam kebhinekaan Indonesia.
Bahkan, Mahkamah berpendapat bahwa jika aturan ambang batas terus diterapkan, maka tidak ada yang melarang kemungkinan bahwa hanya akan ada pasangan calon tunggal.
“Jika hal itu terjadi, makna yang sesuai dengan Pasal 6A ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 akan hilang atau setidak-tidaknya berpindah dari salah satu tujuan perubahan konstitusi, yaitu menyempurnakan aturan dasar tentang penerapan kekuasaan rakyat serta memanfaatkan partisipasi rakyat berdasarkan demokrasi,” kata Saldi.
Almas Tsaqibbirru
Sebelum empat mahasiswa UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, ada nama Almas Tsaqib birru yang luas dibicarakan karena permohonan uji materinya telah dikabulkan sebagian oleh Mahkamah Konstitusi.
Mahasiswa yang bernama Almas dari Universitas Surakarta (Unsa) mengajukan gugatan terkait syarat minimal usia calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Ditujukan, Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang berbunyi, “Persyaratan menjadi calon presiden dan calon wakil presiden adalah: berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun”.
Dalam permohonannya, Almas sempat menyentuh hal-hal yang berkaitan dengan sosok Wali Kota Surakarta Gibran Rakabumi Prabowo (Raka)
Pemohon mengatakan, Gibran adalah tokoh yang inspiratif. Oleh karena itu, pemohon berpendapat, Gibran seyogianya maju dalam kontestasi pemilihan presiden dan wakil presiden.
Namun, adanya kemungkinan tersebut terhalang oleh persyaratan umur minimal capres-cawapres, karena Gibran kini masih berumur 35 tahun.
“Bahwa pemohon tidak mungkin membayangkan apa yang akan terjadi jika sosok yang disegani oleh generasi muda itu tidak mendaftarkan diri sebagai calon presiden sejak awal. Hal tersebut sangat bertentangan dengan hukum karena sosok walikota Surakarta tersebut memiliki potensi besar dan berkecimpung dalam pembangunan Kota Solo secara ekonomi yang pesat,” argumentasi pemohon.
Hingga akhirnya, melalui putusan Mahkamah Konstitusi, harapan Almas terhumuskan, yakni Gibran Rakabuming Raka bisa maju sebagai calon wakil presiden (cawapres) meskipun masih berusia 36 tahun.
Dalam keputusannya, Mahkamah Konstitusi (MK) menerima sebagian gugatan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023. Kemudian, mengganti norma dalam Pasal 169 huruf q UU Pemilu.
“Menyetujui permohonan pembacaan putusan sebagian-pun tidak semata-mata,” kata Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman di sidang pembacaan putusan, Senin, 16 Oktober 2023.
“Menurut pasal 169, huruf q Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilu, Lembaran Negara RI Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 6109, menyebutkan bahwa kandidat “paling tidak berusia 40 tahun”. Normally
Dengan demikian, Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu ditetapkan, “berusia paling rendah 40 tahun atau telah/menjabat/berlangsung menjabat suatu jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”.
Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi ini, seseorang yang pernah menjabat sebagai kepala daerah atau pejabat negara lain yang dipilih melalui pemilihan umum bisa mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden meski berusia di bawah 40 tahun.
Putusan MK tersebut justru melepaskan jalan bagi putra Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi), Gibran Rakabuming Raka untuk maju sebagai calon wakil presiden meskipun masih berusia 36 tahun.
Namun putusan nomor 90 itu juga menciptakan kontroversi di dalam MK sebab diduga mengandung unsur pelanggaran etika. Beberapa hakim MK ingin melaporkan hal ini ke Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MK).
Hasilnya, Anwar Usman diganti dari jabatannya sebagai Ketua MK karena diungkap oleh MKMK bahwa dia terbukti melanggar kode etik dan perilaku hakim konstitusi yang disebutkan dalam Sapta Karsa Hutama prinsip tidak berpihak, integritas, kemampuan dan persamaan, independensi, dan prinsip adil dan sopan.
Anwar Usman dianggap melanggar kode etik dengan berat mengenai keluarnya putusan MK no 90/PUU-XXI/2023 yang membolehkan seseorang yang belum berusia 40 tahun mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden selama dia pernah menjabat sebagai kepala daerah atau jabatan lain yang dipilih melalui pemilihan umum.
Untuk diketahui, Anwar Usman adalah kakek mertua dari Gibran Rakabuming Raka, yang mendapatkan keuntungan dari keputusan nomor 90 tersebut.
Karena, Gibran bisa maju sebagai calon wakil presiden pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 berbekal pengalamannya tidak lebih dari tiga tahun sebagai Wali Kota Solo, karena usianya belum mencapai 40 tahun.