– Siswa SD yang belajar berdiri di lantai sekarang mendapat bantuan pendidikan dari Partai Gerindra.
Siswa SMA itu pada awalnya dihukum karena bermaksud mengucilkan karena menebus rampok Rp180 ribu.
Sebagai bentuk dukungan, Gerindra memberikan beasiswa kepada lulusan Madrasah Aliyah (MA) sampai ia menyelesaikan pendidikan di SMA.
Bapak Ade Jona, Ketua DPD Partai Gerindra Sumatera Utara, mengatakan bahwa beasiswa itu diserahkan secara simbolis kepada Mahasiswa (MA) dan ibunya, Ibu Kamelia, pada Jumat (11/1/2025).
Melalui sambungan telepon tadi Senin (13/1/2026).
Menurut Ade, langkah ini sejalan dengan fokus Presiden Prabowo Subianto dalam mengutamakan sektor pendidikan.
“Kita menjalankan program yang dicanangkan Bapak Presiden, yaitu memberikan perhatian khusus di sektor pendidikan,” ucapnya.
Video sebelumnya melansir di media sosial menampilkan seorang MA dipenjara sejenak di kasih hukuman because menunggak pembayaran biaya SPP sebesar Rp180 ribu selama tiga bulan.
Pada video tersebut, ibunya, Kamelia, tampak merekam kejadian itu sambil menangis.
Kamelia menjelaskan keterlambatan pembayaran terjadi karena dana Program Indonesia Pintar (PIP) belum mencapai tahap yang dimana pembayarannya bisa di keluarkan pada akhir tahun 2024.
Dia merencanakan untuk membayar utang yang belum dibayarkan pada Rabu (8/1/2025) dengan menjual ponselnya untuk tambahan dana.
Tapi sebelum menyelesaikan pembayaran, Kamelia melihat anaknya dari jauh bahwa ia telah diberi tugas belajar di lantai selama dua hari, mulai pukul 08.00 hingga 13.00 WIB.
Dia tidak mempercaya diri begitu saja, Kamelia langsung menuju sekolah pada hari itu.
Dia tiba di ruang kelas dan melihat putranya duduk di lantai sementara teman-temannya duduk di bangku.
Kemudian Kamelia merekam kejadian tersebut dalam kondisi sedang terlibat perdebatan dengan guru MA, Bu Haryati.
Peristiwa ini menarik perhatian masyarakat hingga kemudian Partai Gerindra memberikan bantuan pendidikan kepada MA ini.
Kamelia mengaku tidak ingin menyebarkan berita itu jika gurinya, Haryati, meminta maaf atas perbuatannya itu.
Namun Haryati merasa tidak bersalah dan menantang Kamelia untuk membagikan video tersebut.
“Jadi niat buat video itu tidak untuk harus sampai seperti begini (viral), tidak sesungguhnya,” ungkap Kamelia.
Saya hanya (ingin) mengajarkan pelajaran, karena saya ditantang (guru itu) untuk menyebarluaskan,” demikian katanya, Minggu (12/1/2025).
“Saya bilang ke dia, bunda jangan sampai menyebarkan perbuatannya, sebarkan katanya,” tambah dia.
Beliau menjelaskan bahwa pihak sekolah telah memberikan banyak dukungan dan bantuan kepada kedua anaknya yang duduk di kelas 4 dan kelas 1.
Kamelia hanya menerima perlakuan Haryati, tetapi tidak setuju dengan perbuatan Haryati menjungkal anaknya di hadapan teman-temannya tiga hari tidak terasa.
“Apa yang saya lakukan adalah membuat video untuk membagikan pengetahuan, bukan untuk agar menjadi viral,” kata Kamelia.
Ia juga tidak bermaksud menjelelhkan nama sekolah.
“Saya tidak juga memiliki niat untuk membuat kerumunan di sekolah, tidak. Saya hanya menyesal dengan perilaku salah satu guru,” katanya tegas.
Menurutnya, guru Haryati satu-satunya pengajar yang bersikap arogan di sekolah tersebut sehingga semua guru terpengaruh dampaknya.
Hanya dia (guru itu) yang bersifat seperti itu dalam hubungan dengan murid-muridnya, sehingga terjadi efek seperti itu juga.
“Saya mengharapkan tidak pernah ada (peristiwa) yang dialami anak saya, sehingga korban tidak pernah ada lagi,” katanya.
Kamelia memutuskan memisahkan anaknya dari sekolah yang saat ini diikrut karena seksama trauma.
Jika sekolah memecat Haryati asalkan wali kelas, Kamelia tidak akan mengubah sekolah anaknya.
Hai, to longgar, aku telepon ibu guru milikmu, “Jika anakmu tidak datang ke kelas, aku akan menghubungi orang tua.
“Karena otomatis anak saya trauma,” ucapnya, Sabtu (11/2).
Menurut Kamelia, Mahasiswa ini (MI) akan dibenci para guru-guru di sekolah karena video nya telah beredar di media sosial.
MI juga akan trauma melihat Ibu Haryati duduk di permukaan lantai.
“Saya tahu, pasti sang anak itu dibenci setelah kejadian seperti itu,” jawabnya.
Sementara itu, Pengurus Abdi Sukma Medan, Ahmad Parlindungan pun turut mengeluarkan pendapatnya.
Dia berkata, hukuman duduk di lantai merupakan inisiatif dari wali kelas bernama Haryati.
Pada saat ini, Haryati diberikan hukuman larangan mengajar untuk masa yang lama.
Kami yayasan akan memberikan pembebasan tanpa mengajar atau skorsing sampai waktu yang ditentukan kemudian,” kata Ahmad.
Menuruttemen, pihak yayasan dan sekolah tidak pernah membuat peraturan tersebut.
Allahyarham semua ada, baik yang membayar secara tunai maupun tidak, mereka harus ikut berpartisipasi dalam pelajaran mengajar.
“Kami sangat kecewa dengan kondisi ini yang menjadi viral di seluruh Indonesia karena tidak ada aturan tertulis,” ujarnya.
Dia menjelaskan, adik sulung korban yang duduk di bangku kelas 1 SD, juga belum membayar uang sekolah (SPP) selama tiga bulan.
Tapi wali kelasnya memperkenankan dia mengikuti pelajaran seperti para siswa lain.
Ahmad menambahkan, Haryati yang diposisikan sebagai wali kelas tidak memiliki masalah pribadi dengan orang tua korban.
Pihak sekolah telah memberikan permintaan maaf kepada keluarga korban atas kesalahan ini.
Pengadilan telah selesai. Sudah menyalahkan diri sendiri. Anaknya bergabung di sini, yang belajar di kelas 4 dan kelas 1 sekolah dasar.
“Sekarang, kelas 1 tidak memiliki masalah. Begitu juga tidak membayar biaya sekolah,” jawabnya.
Informasi lengkap dan menarik lainnya di Googlenews