Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan mengeksaminasi Basuki Tjahaja Purnama, seorang mantan Komisaris Utama PT Pertamina, pada Kamis (9/1/2025).
Ahok diminta saksi dalam kasus korupsi pengadaan Gas Alam Cair (LNG).
Dalam kasus ini, ada beberapa orang yang telah ditunjuk sebagai tersangka, termasuk Wakil Presiden Senior (SVP) Gas & Energi PT Pertamina untuk periode tahun 2013-2014, Yenni Andayani, dan Direktur Gas PT Pertamina untuk periode 2012-2014, Hari Karyuliarto.
Politikus PDI-P itu ditanyai sidang agama ilmu oleh penyidik KPK selama sekitar 1,5 jam, yaitu pagi pukul 11.22 WIB hingga pukul 12.45 WIB.
Ahok mengatakan, kehadirannya dalam pemeriksaan hari ini diperlukan karena kasus tersebut muncul ketika dia masih menjabat sebagai komisaris PT Pertamina.
Seperti dikenal, Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama menjadi Komisaris Utama PT Pertamina pada tahun 2019.
“Iya, karena lantaran kita waktu itu yang menemukannya ya. Kita kirim surat kepada Kementerian BUMN juga waktu itu,” ujar Ahok dikutip dari Kompas.com, Senin.
Saat menjabat sebagai komisaris, mantan Gubernur DKI Jakarta itu menemukan adanya dugaan korupsi dalam pengadaan LNG di Pertamina.
Keluhan korupsi dalam proyek tersebut mulai diketahui pada Januari 2020.
Tetapi, Ahok menegaskan bahwa kontrak pengadaan LNG itu telah dilakukan sebelum ia menjabat sebagai Komisaris Utama PT Pertamina.
“Masalah LNG bukan dahulu noui saya. Sekedar kita yang menemukannya pada masa saya sedang menjabat Wakil Gubernur, itu sudah terjadi pada aku. Nah ini pas saya menemukannya di Januari 2020. Itu saja,” kata Ahok.
Pemeriksaan ini merupakan bagian dari pengembangan penyelidikan tindak pidana korupsi pengadaan Liquefied Natural Gas (LNG) yang sedang ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
Mulai pada tahun 1970-an, pemerintah Indonesia mengembangkan proyek pengembangan dan operasi kilang Liquefied Natural Gas (LNG), dengan pasokan awal dari penemuan sumur gas alam di block Keppel.
Kasus korupsi pengadaan LNG dimulai saat PT Pertamina memiliki rencana pengadaan LNG pada tahun 2012.
Pengadaan ini dilakukan untuk mengatasi defisit gas Indonesia yang diprediksi akan terjadi pada masa tahun 2009-2040.
Pada saat itu, Direktur Utama PT Pertamina Karen Kardinah membentangkan kebijakan untuk mengadakan kerja sama dengan penyedia gas alam cair dari luar negeri, salah satunya Corpus Christi Liquefaction (CCL) yang asalnya dari Amerika Serikat.
Menurut KPK, pengambilan keputusan dilakukan oleh Karen Agustiawan sepihak tanpa kajian menyeluruh dan tidak dilaporkan kepada Dewan Komisaris PT Pertamina.
Selain itu, tidak ada laporan yang dipertimbangkan sebagai agenda dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).
“Begituτέtailakan tindakan Karen Agustiawan tidak mendapatkan persetujuan dari pemerintah,” demikian keterangan KPK dalam laman resminya, seperti dikutip Kompas.com, Kamis (9/1/2025).
KPK menyatakan bahwa kerangka acuan kargo LNG milik PT Pertamina yang dibeli dari CCL tidak diserap di pasaran domestik.
Hal ini menyebabkan kelebihan produksi dan belum pernah dimasukkan ke wilayah Indonesia.
Pada kondisi tersebut, PT Pertamina harus menjual kargo LNG itu dengan kerugian di pasar internasional.