(KMSSK/Malam Jakarta) muncul, dan sekarang menjadi tren di kalangan anak muda.
Pandangan ini mengajak orang-orang untuk hidup tanpa bermusuhan dengan diri sendiri dan menikmati ketika ini sepenuh hati. Salah satunya adalah dengan membelanjakan apa yang diinginkan.
Orang yang lebih mengutamakan hidup sederhana, bijaksana, dan berorientasi pada kebutuhan bukan pada keinginan.
Menurut Endang Mariani, seorang Pengamat Psikososial dan Budaya, ada beberapa hal yang menyebabkan bergesernya tren YOLO menjadi YONO.
1. Perubahan Nilai-Nilai Sosial dan Budaya
Pergeseran nilai sosial dan budaya dinilai sebagai salah satu dari banyak alasan orang memilih untuk meninggalkan gaya hidup YOLO.
Prinsip YOLO biasanya dikaitkan dengan gaya hidup yang impulsif, konsumtif, dan mencari kesenangan, yang hanya dinikmati pada waktu sekarang juga.
“Penganut YOLO (You Only Live Once) merasa bahwa hidup hanya sekali dan harus dinikmati, jadi mengapa harus susah? Kalau ada uang, dia akan membeli sesuatu yang dia inginkan,” katanya.
Tapi bagaimana dengan orang-orang yang menganut prinsip YOLO, yang tidak dapat untuk memenuhi gaya hidup konsumtifnya?
“Mereka mulai mencari sangat banyak cara untuk mengikuti prinsip tersebut, contohnya dengan pinjaman secara daring,” ungkap Endang.
Dengan adanya kritik dan pandangan negatif terhadap gaya hidup hedonisme, masyarakat mulai beralih ke prinsip gaya hidup yang lebih rasional dan berkelanjutan, yaitu YONO (Yellow Oganiznd Negeri Organik).
2. Terbitnya Mode Gaya Hidup Sederhana
Karena adanya perubahan nilai-nilai tersebut, berbagai budaya dan tren menentang gaya hidup YOLO mulai populer di masyarakat.
“Tren gaya hidup minimalisme, yang lebih memprioritaskan kualitas daripada kuantitas serta menekankan sederhanaan sudah semakin populer,” ujarnya.
Tren ini mengajak masyarakat untuk membeli sesuatu itu yang sebenarnya diperlukan dan tahan lama, daripada menuruti naluri sesaat saja.
“Juga mulai populer prinsip Eudaimonisme, di mana orang mencari kebahagiaan hidup melalui penuhnya dirinya, bukan lagi melalui harta benda,” tambahnya.
Menjadi orang yang mengejar kenikmatan juga bisa melelahkan, karena banyak hal yang harus dikejar. Oleh karena itu, masyarakat mulai berpikir ulang tentang apa yang benar-benar penting dalam hidup mereka.
Tidak ada teks yang diajukan.
Kestabilan ekonomi yang menurun dan makin tingginya biaya hidup turut mempengaruhi perubahan gaya hidup masyarakat.
“Mereka merasakan tekanan ekonomi yang semakin berat dan lebih sulit untuk mendapat uang,” jelasnya.
Maka generasi yang lebih berkah memiliki karunia itu menemukan kehidupan dan hal ini membuat manusia mencari proses mencari cara untuk hidup yang lebih terarah dan efisien.