Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat penerimaan pajak di tahun 2024 tidak mencapai target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Angka realisasi sepanjang 2024 senilai Rp 1,932 triliun atau 97,2% dari target APBN 2024 yang mencapai Rp 1,988,9 triliun.
Penerimaan pajak tahun depan diharapkan mencapai Rp 56,5 triliun pada APBN 2024. Meskipun demikian, pemerintah telah menentukan target penerimaan pajak pada tahun 2025 yang lebih tinggi dari APBN 2024.
Dalam RAPBN 2025, pemerintah menentukan penerimaan pajak seberat Rp 2.490,91 triliun, sedangkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) diprediksi mencapai Rp 513,6 triliun.
Manajer Penelitian Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar, menjelaskan target pendapatan pajak dalam APBN 2025 cukup tinggi. Dia mencatat membutuhkan kenaikan 13,29 persen dari realisasi di tahun 2024.
, Selasa (7/1).
Fajry mengatakan, secara sejarah tambahan penerimaan pajak pra wabah COVID-19 (2014-2019) setiap tahun rata-rata hanya sebesar Rp 68,62 triliun, kemudian meledak secara signifikan pasca wabah yakni tahun 2021 senilai Rp 205 triliun, tahun 2023 sebesar Rp 152,54 triliun, dan tahun 2022 mencapai Rp 439,23 triliun.
Kendati itu, dia memperhatikan adanya kebijakan yang mungkin tidak akan berulang pada tahun 2024, seperti kenaikan tarif PPN dan program PPS, atau amnesti pajak, serta dampak dari lonjakan harga komoditas.
Dari otoritas pajak, pemerintah hanya mampu menghasilkan tambahan penerimaan sekitar Rp 60-an triliun,” ungkap Fajry.
Hal yang sama antara tahun 2024 juga dialami oleh tahun sekarang, Fajry juga melihat pemerintah akan menghadapi kesulitan untuk menambahkan pendapatan dari pajak. Sebab, kondisi perekonomian nasional masih berisiko mengalami penurunan pada kemampuan konsumsi masyarakat.
Atau keyakinan publik yang kurang dan kekuatiran melawan pemerintah masih tinggi, sehingga mengeluarkan kebijakan itu sulit. Oleh karena itu, Fajry melihatlah sulit bagi pemerintah untuk melaksanakan APBN perubahan (APBN-P) dalam tahun ini.
“Saya yakin perlu mempertimbangkan faktor politik dalam merevisi RAPBN 2025. Mengingat perubahan RAPBN pastinya melalui proses politik dan pastinya tidak hanya membahas tentang sasaran pendapatan saja,” ujar Fajry.
Dalam sementara waktu, Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI), Prianto Budi Saptono, juga menyatakan bahwa kemungkinan penerimaan pajak pada tahun 2025 sama sulitnya dengan tahun lalu, namun peluang raih targetnya masih terbuka.
“Pembuat kebijakan pasti harus berharap baik dulu apa yang belum terjadi dan menjadi tujuan yang akan dicapai. Jadi, jawaban yang lebih berharap baik adalah anggaran Pemerintah Negara Bagian dapat dicapai,” ujar Prianto.
Prianto menjelaskan bahwa jika ekonomi membaik dan daya beli masyarakat meningkat tahun ini, maka Bea Perolehan Negara (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) akan meningkat. Sementara itu, jika terjadi perbaikan di industri, maka Pajak Badan (PPh Badan) akan juga meningkat.
Dia melihat opsi negara dalam uang (APBN-P) selalu ada untuk menolong belanja pemerintah yang besar di tahun ini, sementara defisit belanja rumah negara turun. Namun, menurutnya opsi ini lebih baik diputuskan di tengah tahun.
“Pilihan anggaran negara telah ada, tapi tidak sekarang karena masih terlalu mendini jika pada Januari 2025 ini sudah memikirkan untuk merevisi anggaran, karena pertimbangan defisit,” kata Prianto.
“Tahun degan yang paling tepat biasanya dalam triwulan ketiga bulan Juli-September. Pada saat itu, pemerintah sudah bisa melihat realisasi penerimaan pajak di semester I. Proyeksi di semester II bisa dilakukan,” tambahnya.
Pemerintah menetapkan defisit anggaran untuk tahun 2025 sebesar 2,53 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), yang setara dengan sekitar Rp 616,2 triliun.
Diperkirakan pendapatan negara mencapai Rp 3.005,1 triliun, yang merupakan tingkat tertinggi sepanjang sejarah, didukung oleh penerimaan perpajakan sebesar Rp 2.490,9 triliun dan PNBP sebesar Rp 513,6 triliun.
Sedangkan anggaran pembelanjaan negara pada tahun 2025 ditetapkan pada Rp 3.621,3 triliun, yang mencakup pembelanjaan dari Kementerian atau Lembaga sebesar Rp 1.160,1 triliun dan pembelanjaan non Kementerian/Lembaga sebesar Rp 1.541,4 triliun.