Berita tentang Pembayaran Pajak Penjualan (PPN) telah terus menyebar luas di tengah masyarakat.
Pasalnya, karena belum terbiasanya masyarakat awam terhadap informasi tentang peningkatan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang disampaikan langsung Presiden RI Prabowo Subianto beberapa waktu lalu.
“Hari ini pemerintah memutuskan bahwa kenaikan asesmen pajak tambahan (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen hanya dikenakan terhadap barang dan jasa mewah,” kata Prabowo di Gedung Kementerian Keuangan, dikutip Rabu (1/1/26).
Apa itu PPN yang sebenarnya?
PPN merupakan salah satu jenis pajak yang dipungut pada saat penyerahan barang kena pajak (BKP) dan/atau jasa kena pajak (JKP).
Sederhananya, ini adalah pajak yang ditambahkan dan diketebalkan atas suatu transaksi.
Dalam kenyataannya, pengusaha yang telah divonis sebagai Pajak Pribadi (PP) harus membuat faktur pajak elektronik sebagai bukti pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan melaporkan secara berkala tiap bulan melalui Laporan Pembetukan Pajak (SPT) PPN.
Tetapi, pihak yang membayar pajak ini adalah pihak pembeli.
Bagaimana mengenai tanggal atau waktu resmi penerapan peraturan tersebut, secara penuh baru akan berlaku pada 1 Februari 2025.
Pajak penjualan barang mewah tersebut akan diterapkan.
Apa alasan mengapa pemerintah meningkatkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada tahun ini?
Alasan Pajak Pendapatan Non Pajak (PPN) Meningkat 12 Persen Tahun 2025
Salah satu penyebabnya adalah adanya masa transisi yang diberlakukan pada bulan Januari 2025.
Pasalnya masa transisi ini dimaksudkan untuk memberikan waktu bagi masyarakat dan pelaku usaha agar dapat menyesuaikan diri dengan perubahan tarif PPN dari 11% menjadi 12%.
“Anggap saja ini transisi. Nanti bulaan PPN akan meningkat menjadi 12% mulai tanggal 1 Februari 2025. Jadi tidak patut bila ada orang yang sudahrending order di bulan Desember, tiba-tiba malahan kena pajak di bulan depan,” Kata Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan, Deni Surjantoro, mengutip Kompas.com, Minggu(5/1/2025).
Pada bulan Januari 2025, PPN untuk barang mewah masih dihitung dengan tarif 11 persen, padahal dasarnya adalah tarif 12 persen dikalikan nilai lain sebesar 11/12 dari harga jual atau nilai impor. Hal ini berlaku khusus untuk konsumen akhir, atau mereka yang membeli barang mewah seperti mobil atau rumah mewah langsung dari dealer atau pengembang.
Pasal 5 butir a PMK Nomor 131 Tahun 2024 menjelaskan, “Mulai tanggal 1 Januari 2025 dan tanggal 31 Januari 2025, Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif 12 persen dengan dasar pengenaan pajak berupa nilai lain sebesar 11/12 dari harga jual.”
Dengan demikian, meski tarif yang dikenakan adalah 12 persen, perhitungannya tetap menghasilkan angka yang sama dengan pajak pertambahan nilai 11 persen untuk konsumen akhir pada Januari 2025.
Hal ini berlaku untuk berbagai barang mewah, seperti mobil, rumah, dan barang-barang mewah lainnya yang diperoleh oleh masyarakat umum.
Tapi, sejak 1 Februari 2025, peraturan akan berubah dan Pajak Pertambahan Nilai 12 persen akan berlaku secara penuh, dihitung langsung berdasarkan harga jual atau nilai impor tanpa menggunakan rumus nilai lain.
Perubahan ini dicantumkan dalam Pasal 5 butir b PMK 131 Tahun 2024, yang menyatakan bahwa mulai Februari 2025, pajak barang mewah akan dihitung dengan tarif 12 persen penuh.
“Mulai tanggal 1 Februari 2025 berlaku ketentuan yang disebutkan dalam Pasal 2 ayat (2), yaitu PPN dihitung dengan cara mengalikan tarif 12 persen dengan dasar pokok pengenaan pajak berupa harga jual atau nilai impor,” kata Deni.
Apabila konsumen akhir menjalani masa transisi, pengenaan PPN 12 persen sudah berlaku untuk produsen, distributor, dan developer sejak Januari 2025.
Artinya, untuk transaksi antar perusahaan, tarif PPN atas barang mewah sudah sepenuhnya berlaku 12 persen, baik di tingkat pabrik, distributor, maupun saat transaksi rumah mewah dari pengembang ke konsumen.
“Imposisi PPN itu integral. Jadi kalau di atas-atasnya (konsumen akhir) tetap langsung 12 persen. Misalnya dari pembuat barang langsung ke pengedar atau ke mana pun, itu 12 persen,” kata Deni.
Tujuan dari kebijakan ini adalah memberikan waktu kepada masyarakat untuk beradaptasi dengan peningkatan tarif PPN untuk barang-barang mewah, sambil tetap menjaga kelancaran transaksi di pasar.
Pemerintah berharap transisi ini dapat mengurangi gangguan bagi pelanggan yang telah melakukan pembelian sebelum tarif penuh diberlakukan.
Dengan demikian, meski PPN 12 persen secara resmi diumumkan untuk berlaku mulai 1 Januari 2025, penerapan penuh baru akan dimulai pada 1 Februari 2025, memberikan kesempatan bagi konsumen untuk menyesuaikan diri dengan kebijakan baru ini.
Lantas jenis barang dan jasa apa saja yang ikut dan tidak ikut mengalami potongan PPN 12 persen?
Barang dan Jasa yang Bebas dari PPN 12%
-
Barang
Berikut adalah daftar barang yang tidak terkena pajak hasil penjualan barang dan jasa (PPN) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) Pasal 4A dan 16B:
- Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan tempat makan lainnya, baik yang dikonsumsi di sana maupun tidak, termasuk yang disediakan oleh pihak penyedia jasa makanan atau operator perjantanan.
- Objek ini termasuk objek pajak daerah dan retribusi daerah menurut ketentuan peraturan hukum perundang-undangan di bidang pajak daerah dan retribusi daerah.
- “Mata uang, emas yang berbentuk batangan untuk kepentingan cadangan devisa negara, dan surat berharga.
Selain itu, barang-barang yang tidak dikenakan PPN juga diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 116/PMK/010/2017, di antaranya:
- Beras dan gabah berkulit, dikuliti, disosoh atau dilapkan, setengah giling atau digiling, pecah, menir, salin yang sesuai untuk disemai.
- Tulang jagung yang dikupas atau belum, baik itu pipilan, pecah, menir, juga bukan termasuk bibit.
- Sagu berupa empulur sagu (sari sagu), tepung, tepung bubuk, dan tepung kasar.
- Kacang kedelai dengan kulitnya utuh dan pecah, kecuali bijinya.
- Bahan-bahan yang digunakan sebagai garam konsumsi berbeda, garam bromium atau tidak, termasuk garam meja dan garam sintetis untuk konsumsi atau kebutuhan pokok.
- Daging segar daripada hewan ternak dan unggas dengan atau tanpa tulang yang tidak diolah, dibekukan, dilapisi garam, dipekatkan lembab, diasamkan, maupun diselamatkan dengan cara lain.
- Telur yang belum diolah, diasinkan, dibersihkan, atau diawetkan, tidak dihitung sebagai bibit.
- Susu perahan yang dipanaskan atau didinginkan serta tidak mengandung tambahan gula atau bahan lain.
- Buah segar yang dipetik dan dikumpulkan kemudian dicuci, dibonggol, disortasi, dibelah, diiris, digrading, kecuali dikeringkan.
- Daun sayuran segar dipetik, dicuci, disikat, dibekukan, disimpan di tempat sejuk, atau dihancurkan.
- Ubik-ubik segar, melalui proses dicuci, dikupas, disortasi, diiris, dipotong, atau digrading.
- Bumbuharian segar yang dikeringkan, tidak dihancurkan, dan tidak ditumbuk.
- Penggunaan gula kristal putih berasal dari tebu, digunakan sebagai pemanis utuh tanpa penambah tambahan pewarna atau rasa lainnya.
2. Jasa
Daftar jasa yang tidak dikenakan PPN 12 persen diatur dalam Pasal 4A ayat (3) dan Pasal 16B ayat (1) huruf j UU HPP, serta rinciannya adalah:
- Jasa keagamaan.
- Jasa kesenian dan hiburan, yang mencakup semua jenis jasa yang disediakan oleh pekerja seni dan bunga tidur, adalah objek pajak daerah dan retribusi daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pajak daerah dan retribusi daerah.
- Jasa perhotelan, meliputi penyewaan kamar dan/atau sewa ruangan di hotel, yang merupakan objek pajak daerah dan retribusi daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pajak daerah dan retribusi daerah.
- Jasa yang diberikan oleh pemerintah dalam rangka mengatur pemerintahan secara umum, mencakup semua jenis jasa yang hanya dapat dilakukan oleh pemerintah sesuai dengan wewenangnya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
- Jasa penyediaan tempat parkir meliputi penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir yang dilakukan oleh pengelola tempat parkir atau pemilik tempat parkir, yang merupakan objek pajak daerah dan retribusi daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pajak daerah dan retribusi daerah.
-
Bisnis katering atau pesan makanan dan minuman, mencakup semua kegiatan penyediaan jasa pelayanan makanan dan minuman, yang merupakan objek pajak daerah dan retribusi daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pajak daerah dan retribusi daerah.
Barang yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat luas.
- Jasa layanan kesehatan tertentu dan kegiatan yang masuk dalam program jaminan kesehatan nasional (JKN).
- Perawatan sosial. Layanan keuangan. Layanan keamanan dengan asuransi.
- Jasa pendidikan.
- Jasa perlintas darat dan laut serta jasa angkutan udara domestik yang merupakan bagian yang tidak terpisah dari jasa angkutan luar negeri.
- Jasa tenaga kerja.
Beberapa Barang dan Jasa yang Mungkin Dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 Persen pada tahun 2025
Sementara itu, barang dan jasanya yang dikenakan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12% adalah semua yang tidak disebutkan dalam daftar di atas, terutama yang termasuk dalam kategori premium dan VIP.
Simulasi Pajak Penghasilan Nobat (PPN) 12 Persen
Konsep penyederhanaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) jika dibahas dalam pandangan masyarakat umum atau awam, seringkali akan diletakkan pada sistem pertransaksian barang-barang di pasar.
Di mana setiap pelaku di rantai penyedia (pabrik, distributor, dan toko) hanya membayar pajak atas nilai tambah yang mereka buat.
Nilai tambah tersebut merupakan selisih dari harga jual dan harga beli mereka.
Dari perbedaan tersebut akan mengarahkan PPN untuk terus bergerak meningkat disetiap fase hingga mencapai konsumen.
Konsumen yang dimaksudkan adalah pihak terakhir maupun masyarakat umum yang membayar harga barang, termasuk seluruh PPN dari tahap-tahap sebelumnya.
Jika belum disesuaikan berikut ini terdapat penyederhanaan dalam bentuk garis atau diagram rantai atau alur penjualan dari pusat utama atau pabrik hingga ke konsumen.
>>> Dari Pabrik ke Distributor <<<
Harga Dasar : Rp 5.000
– Harga Setelah Pajak : Rp 5.000 + 12 persen = Rp. 5.600
– Harga Penjualan Distributor : Rp. 10.000 (Termasuk laba distribusi)
PPN yang Harus Dibayar Distributor : Rp 10.000 x 12% = Rp 1.200
– Harga Setelah Pajak Belanja Makan Minum (PPN) + Harga Jual + PPN yang Harus Bayar: (Rp. 5.600 + 10.000 + 1.200)
Total nilai : 16.800
||
\/
Distributor ke Toko
– Harga Dasar Hak Cetak: Rp 16.800 (Ini sudah termasuk margin dan PPN sebelumnya).
PPN yang Dikenakan Distributor ke Toko: 16.800 x 12% = 2.016
– Harga Jual ke Toko (Setelah PPN): Rp 16.800 + Rp 2.016 = Rp 18.816
||
\/
* Lain-lain: “APA SITUASI LAIN-LAIN DI TOKO YANG PENTING AGAR DIJAWAB? tanyakanlah”
-Harga Dasar Toko: Rp 20.160 (sudah termasuk margin dan PPN sebelumnya) harga bisa dibulatkan toko
– PPN yang Dikenakan Toko ke Konsumen: Rp 20.160 x 12 % = Rp 2.419,2 (harga dibulatkan menjadi Rp 2.420)
– Harga Jual ke Konsumen (Setelah PPN): Rp 20.160 + Rp 2.420 = Rp 22.580
Peringatan: Perhitungan yang tersebut, hanya merupakan simulasi untuk memberikan gambaran apabila pajak nilai tambah (PNP) dinaikkan 12 persen pada tahun yang akan datang, dan pada saat-saat tertentu, sistem perhitungan PNP dan struktur metodologi pembentuknya dapat diubah.
(*)
Google News