Dinyatakan seharusnya dipatuhi oleh pemerintah maupun Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan penyusunan norma baru pengganti Pasal 222 UU Pemilu.
Yusril mengatakan, memang hal ini menjadi kewajiban bagi DPR dan pemerintah untuk merevisi Pasal 222 UU Pemilu. Pasal tersebut menjelaskan syarat minimal 20 persen kursi di DPR atau 25 persen suara nasional bagi partai politik (parpol) atau gabungan parpol dalam mencalonkan capres-cawapres untuk pilpres sebelum dicabut melalui keputusan MK No 62/2024.
“Saya percaya beberapa perubahan akan dilakukan dalam pasal 222 Undang-Undang Pemilu. Saya berpikir ini mungkin dapat dilakukan oleh pemerintah, ataupun oleh DPR,” kata Yusril dalam konferensi pers yang diterima wartawan di Jakarta, Selasa (7/1/2025).
“Tidak ada upaya hukum yang dapat dilakukan,” demikian kata Yusril.
Tetapi dinyatakan oleh Guru Besar Hukum Tata Negara (HTN) bahwa, dalam konsep maupun diskusi politik di DPR untuk peromossi Pasal 222 UU Pemilu, kemungkinan besar terdapat usaha-usaha agar angka ambang batas presiden tetap ada meskipun MK sudah menghapuskannya. Namun Yusril mengyakin bahwa bahwa apabila syarat batas minimal pencapresan tersebut kembali ditetapkan dan disahkan dalam UU Pemilu yang baru oleh DPR, maka risiko pembatalan oleh MK kembali muncul.
“Setelah adanya putusan MK, bisa-bisa saja disahkan oleh DPR,” kata Yusril.
itu,” sambung Yusril.
Sebagai Wakil Presiden Bidang Hukum dan Perundang-undangan, Yusril menyatakan bahwa dirinya bersama dengan menteri di bawah koordinasinya, serta menteri terkait kepemiluan sedang melakukan konsolidasi untuk membahas perubahan Undang-Undang Pemilu setelah putusan Mahkamah Konstitusi 62/2024 tersebut.
Yusril memastikan, pemerintah akan merentangkan pendengarannya untuk mendengar serta menerima semua saran-saran dari lembaga-lembaga non-pemerintah, serta pendapat kelompok-kelompok masyarakat, termasuk partai-partai politik dalam revisi rencana Pasal 222 UU Pemilu tersebut. Yusril berjanji pemerintah hanya akan mengacu pada rencana perubahan UU Pemilu yang sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi. Termasuk mengacu pada lima suasana konstitusional dalam rekomendasi putusan MK 62/2024.
Dalam pertimbangan hukum putusan MK,” kata Yusril.
Lima prinsip konstitusional dalam pertimbangan hukum putusan Mahkamah Konstitusi tersebut adalah: memastikan semua partai politik yang berpartisipasi dalam pemilihan umum memiliki hak untuk mengusulkan calon presiden dan calon wakil presiden. Kedua, mengenai pengusulan pasangan calon (paslon) calon presiden-calon wakil presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik yang berpartisipasi dalam pemilihan umum tidak didasarkan pada persentase jumlah kursi di Dewan Perwakilan Rakyat, atau perolehan suara sah nasional
Selanjutnya, dalam hal menyarankan paslon calon presiden dan wakil presiden, partai politik peserta pemilu dapat bergabung atau berkoalisi selama koalisi tersebut tidak menciptakan keterampilan yang tak seimbang atau gabungan partai politik yang menyebabkan kurangnya paslon, serta kurangnya pilihan bagi pemilih. Keempatnya terkait dengan sanksi larangan berpartisipasi dalam pemilu periode selanjutnya bagi partai politik yang tidak menyarankan paslon calon presiden dan wakil presiden.
).