Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mengatakan bahwa langkah pemerintah bergabung dengan kawasan BRICS tidak akan langsung mempengaruhi kondisi ekonomi sektor bisnis.
Ketua Umum Apindo Shinta W Kamdani mengatakan, Apindo melihat BRICS lebih banyak berorientasi pada aspek geopolitik dibandingkan dengan kerjasama kebijakan ekonomi yang konkrit.
Meskipun demikian, lanjut Shinta, APINDO juga memandang keanggotaan penuh Indonesia dalam BRICS sebagai peluang strategis untuk memperluas jaringan mitra dagang dan investor, di tengah-tengah dinamika ekonomi global yang secara terus berubah.
BRICS memungkinkan Indonesia memperkuat kerja sama dengan negara-negara seperti Tiongkok, India, dan Uni Emirat Arab (UEA) yang merupakan pasar potensial.
“Keanggotaan ini juga dapat memperkuat posisi Indonesia di pasar non-tradisional seperti di Afrika dan Timur Tengah,” kata Shinta.
Meskipun dampak langsung secara ekonomi terhadap sektor usaha tidak terlihat, namun menurutnya Indonesia masih bisa memanfaatkan peluang yang ada di dalam negara-negara BRICS.
Shinta menyoroti keanggotaan ini bisa menciptakan peluang kerjasama pada sektor manufaktur, agrikultur, hingga energi dengan UEA dan Ethiopia.
“(Lalu) alternatif pembiayaan proyek melalui Dana Pembangunan BRICS (NDB), sektor bisnis dapat mengakses pembiayaan untuk proyek infrastruktur dan energi terbarukan, yang selama ini mungkin terhalang oleh sumber pendanaan tradisional,” kata dia.
Selain itu, Shinta melihat bahwa pelaku usaha dapat mengambil manfaat dari keunggulan teknologi dari negara BRICS seperti Tiongkok dan Rusia untuk mendukung transformasi industri domestik.
“Namun, kami juga menyadari adanya tantangan, termasuk potensi retaliasi dagang dari negara-negara non-BRICS atau risiko ketergantungan pada partner tertentu, seperti Tiongkok. Oleh karena itu, orang bisnis perlu mempersiapkan strategi mitigasi risiko dengan baik,” kata Shinta.
Shinta juga melihat isu devaluasi dolar di BRICS. Menurutnya, sentimen negatif Amerika Serikat terhadap hal ini merupakan isu yang kompleks. Namun posisi Indonesia dalam perdagangan global tetap mengutamakan prinsip bebas aktif.
Dia melihat, keanggotaan di BRICS tidak bermakna Indonesia akan menggantikan mitra dagang seperti Amerika Serikat, tetapi lebih kepada diversifikasi mitra untuk mengurangi risiko ketergantungan pada pasar tertentu.
Dia melihat potensi untuk skenario prahren engan di bawah trafik dagang, jika sentimen negatif Bumi Pertama meningkat, halangan perdagangan seperti tarif tambahan atau aturan tidak-afibrudio bisa dikemukakan. “Namun, hal ini sangat bergantung pada dinamika politik dan ekonomi kedua negara,” imbuhnya.
Lalu skenario mengenai pengelolaan risiko valuta asing. Karena, dengan adanya inisiatif devaluasi dolar BRICS, perusahaan Indonesia yang berorientasi ekspor ke Amerika Serikat perlu lebih berhati-hati dalam manajemen risiko valas untuk menjaga daya saing harga.
Kemudian ada peluang untuk memperluas diversifikasi. Diversifikasi pasar melalui BRICS dapat memberi alternatif bagi pelaku usaha jika tantangan perdagangan dengan Amerika Serikat meningkat.
“Apindo percaya bahwa pemerintah dan sektor swasta perlu berkolaborasi untuk memastikan kepentingan nasional tetap terjaga, baik dalam hubungan dengan AS maupun dalam pengelolaan peluang dari BRICS,” tutup Shinta.
Sebelumnya, Indonesia secara resmi bergabung menjadi anggota BRICS. Hasil ini telah diumumkan secara resmi oleh Brasil sebagai ketua blok tersebut.
Brasil ingatkan bahwa negara-negara anggota telah sepakat untuk menerima Indonesia sebagai anggota sesuai dengan kesepakatan perluasan keanggotaan yang sudah disepakati pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS 2023 di Johannesburg, Afrika Selatan.
Pada saat itu, Indonesia memberi izin untuk bergabung, hanya saja Indonesia meminta bergabung secara resmi setelah Pilpres 2024 yang dimenangkan oleh Prabowo Subianto.