Seseorang bertanya apakah air mineral masuk kategori barang mewah, sehingga dikenai pajak penghasilan非 naturaleza mencapai 12 persen.
“Apakah air mineral ini barang mewah?” tulisnya, disertai foto struk pembelian dari salah satu toko ritel.
Pada struktur yang telah dikomentari lebih dari 2 ribu kali dan disukai oleh 89 ribu warganet per tanggal 6 Januari 2025 itu, terlihat bahwa harga dua botol air mineral berukuran 330 ml dihargai Rp16.000. Selain itu, terdapat PPN 12 persen senilai Rp1.920, sehingga total yang harus dibayar menjadi Rp17.900 setelah pembulatan.
“Tak mengherankan,” ujar Ajie Witjaksono, Ketua Umum GAPENA RI, tentang keberadaan PPN 12 persen di minimarket.
Mereka mengakui tidak tahu apakah tarif PPN barang tidak mewah sekarang ada di 11 persen atau 12 persen. Akan tetapi, mereka mencatat bahwa harga risoles yang berkualitas biasa yang biasanya dibelinya di Indomaret naik dari Rp10.000 menjadi Rp13.000 per buah.
“Ya, beberapa hari yang lalu saya pernah membeli tiket masuk di Indomaret, dari harga sepuluh ribu tiba-tiba menjadi tiga belas ribu,” tuturnya.
Menurut @MurtadhaOne1, penjadwalan pajak PPn 12% pada pembelian air mineral tidaklah tepat. Ia juga ragu kemampuan pemerintah menjelaskan selisih pajak PPn ke konsumen.
“Jadi kesabaran masyarakat berhasil digantikan dengan peperangan,” tesisnya.
Doddy Wahyudi, berusia 37 tahun, yang terbiasa bekerja sebagai pengemudi ojek online di Jakarta, juga menyetujuinya. Menurutnya, sangatlah sulit dan kompleks bagi warga untuk meminta pengembalian kelebihan PPN ke toko ritel. Bahkan, pembeli sering melempar struk belanja setelah mereka keluar dari toko.
“Saya juga bingung bagaimana konsepnya. Jadi kalau harus lagi ke Alfamart atau Indomaret untuk menunjukkan struk untuk mendapatkan pengembalian, ya sudahlah. Lebih baik tidak usah. Mari kita klaim secara jujur agarutionseri forex posnya dapat dimakan pemerintah (kelebihan PPN 12 persen),” katanya kepada Tempo, Senin (6/1/2025).
Selashnya enam jam sebelum pergantian tahun 2025, Presiden Prabowo Subianto secara resmi menetapkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12% hanya untuk barang mewah. Untuk barang non-mewah, menurut Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 131 Tahun 2024, tarif PPN dihitung dengan rumus khusus, untuk menghitung tarif PPN agar tak mengalami kenaikan. Rumus tersebut adalah dengan memberikan nilai lain 11/12 sebagai pengali 12%, dikalikan harga jual, nilai impor, atau penggantian.
Ketua Komite Perpajakan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Siddhi Widyaprathama, menyatakan bahwa penerapan Pajak Pertambahan Nilai 12 persen pada produk nonmewah seperti air mineral disebabkan oleh sistem administrasi perpajakan perusahaan yang belum diperbarui. Apalagi, waktu antara pengumuman tarif PPN dengan pelaksanaannya hanya sehari saja.
“Bila ada yang masih mengaplikasikan tarif PPN 12 persen untuk barang nonmewah, tentu lebih ke sistem yang belum diatur ulang, atau perusahaan yang menjual barang yang dikategorikan barang mewah ya. Mereka mungkin seperti itu,” jelasnya kepada Tirto, Senin (6/1/2025).
Sementara untuk menyesuaikan sistem dengan rumus penghitungan PPN baru, yakni 11/12 x 12% x harga jual barang kena pajak (BKP), membutuhkan waktu cukup lama. Namun, menurut Siddhi, perusahaan-perusahaan yang merupakan perpanjangan tangan dari pemerintah untuk memungut PPN, mampu menyesuaikan sistem sesuai dengan tenggat yang diberikan, yakni selama masa transisi 3 bulan.
“Pernahasa cukup karena sebenarnya rencana kenaikan ini sudah cukup panjang diskusinya, meskipun pengumumannya baru pada hari terakhir. Itu memerlukan waktu (untuk penyesuaian sistem) tapi 3 bulan sudah cukup,” katanya.
Sementara itu, untuk mengembalikan kelebihan PPN kepada konsumen, dia mengatakan hal ini harus dilakukan. Ia mengakui bahwa proses mengembalikan kelebihan PPN tersebut akan memakan waktu dan memerlukan proses administratif tambahan.
Ruben Hutabarat, Wakil Direktur Pusat Pajak Indonesia (CITA), mengatakan bahwa pelaksanaan tarif pajak nilai tambah (PPN) 12% pada banyak barang non-mewah di toko retail tidak benar. Sebaliknya, banyak perusahaan telah menyesuaikan tarif sejak Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Airlangga, dan Menteri Keuangan, Sri Mulyani, mengumumkan peningkatan tarif PPN untuk semua barang dan jasa, kecuali minyak goreng Minyakita, gula industri, dan tepung terigu, pada 16 Desember yang lalu.
Berdasarkan bahwa tidak ada text lainnya. Ingatlah bahwa contoh paragraf asli adalah: “Katakan _______” “tidak bermasalah itu _______ coutur inti happerde seperti pada waktu itu _______ to _______ waktu ______________________ meskipun _______”
“Saat terjadi perubahan rencana, para pengusaha bereaksi kembali. Oh, berbeda lagi, ya. Saya tidak menginkan itu, saya sangat konservatif. Saya hanya mengubah tarif PPN saja sekarang (tarif PPN). Hal itu karena setelah konferensi pers itu, diteruskan dengan siaran pers dari DJP, yang semakin memperkuat rencana itu,” kata Ruben, ketika dia sibuk, Senin (6/1/2025).
Sekarang, saat PPN 12 persen ditetapkan hanya untuk barang mewah, pengusaha pun tidak bisa mengubah kembali sistemnya hanya dalam satu malam. Apalagi, dalam kebijakan tarif PPN 2025, pemerintah juga menambahkan nilai lain dalam perhitungannya sehingga tidak melanggar Undang-Undang 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Selain sistem, rumus penghitungan ini juga dinilai membingungkan bagi rakyat. Tak heran, jika meskipun pemerintah sudah menegaskan tidak ada kenaikan harga barang dan jasa nonmewah, masyarakat masih memahami hal yang sebaliknya.
“Jadi, ketika keputusan final itu diambil 6 jam sebelum pergantian tahun, mereka (perusahaan) tidak punya waktu cukup untuk mengubah sistemnya. Jadi apa yang saya lihat itu lebih karena kesulitan atau keterbatasan waktu bagi perusahaan-perusahaan toko itu,” kata Ruben.
Meski begitu, Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), menyebutkan bahwa proses restitusi PPN sulit dilakukan, khususnya bagi perusahaan ritel.
“Mereka nyaman dengan sistem yang ada selama ini. Proses restitusi juga sangat kompleks. Secara teknis sangat bingung. Mungkin aturan baru tarif PPN 12 persen untuk barang mewah ini dikeluarkan terlalu cepat. Pas di injury time begitu banyak toko dengan ribuan macam produk sudah melakukan penyesuaian dengan tarif PPN 12 persen,” ujar Bhima kepada Tirto, Senin (6/1/2025).
Untuk soal restitusi, Bhima meminta Direktorat Jenderal Pajak (DJU), melalui kantor wilayah (Kanwil), untuk memberikan sosialisasi terkait skema pengembalian kelebihan PPN kepada pelaku usaha dan masyarakat. Sehingga, kesalahan persepsi, yang berpotensi menimbulkan kerugian kepada konsumen, tidak akan timbul.
PPN salah satu diantaranya dibayar oleh konsumen. Itu oleh karena itu harga-harga barang jadi lebih tinggi di pasar.
Karena itu, Bhima mendorong agar pemerintah dapat merevisi Undang-Undang (UU) Pertambahan Pendapatan Negara (PPN) atau membuat Peraturan Pemerintah Peraturan Pembukaan (Perppu), yang dapat menjadi undang-undang pembatalan tariff PPN 12 persen bagi barang dan jasa non mewah.
Terpisah, menurut Ketua Komisi XI DPR, Mukhamad Misbakhun, rumus perhitungan di PP 164/2024, terutama konsep “nilai lain”, membingungkan pelaku usaha dan masyarakat. Tidak hanya itu, dengan adanya rumus ini, perhitungan PPh 2025 memiliki dua tarif. Padahal, menurut UU PPh, tidak ada kebijakan multitarif PPh.
Pada saat yang sama, kekosongan waktu bagi dunia usaha untuk melakukan persiapan dalam pelaksanaan kebijakan ini juga pada akhirnya menyebabkan ketidakpastian di masyarakat. Apalagi, ketika sistem perusahaan tidak bisa secara langsung memahami pajak erhaki atas barang dan jasa non-mewah yang tidak akan dinaikkan.
“Meskipun pada akhirnya pajak pertambahan nilai (PPN) yang terutang dapat dirata-ratakan menggunakan sistem pada Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPN, masih membuat masyarakat harus membayar lebih dari yang seharusnya,” kata dia, kata Misbakhun, dalam keterangan yang diterima Tirto, Senin (6/1/2025).
Mengenai hal tersebut, Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Suryo Utomo, mengatakan, pengurangan PPN di mana negara tutup skema penjualan haji ulung untuk masyarakat kelas menengah tidak dapat dihindari.
“Tentang restitusi yang sudah dipungutkan sebelumnya karena tidak bisa dihindari, pada tanggal 31 Desember 2024 lalu, kebijakan kebijakan disampaikan, dan tanggal 1 Januari 2025 sudah ada yang melaksanakan transaksi,” kata dia dalam Konferensi Pers APBN 2024 di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta Pusat, Senin (6/1/2025).
Terkait hal ini, Suryo mengaku telah mengumpulkan para pengusaha yang tergabung dalam Asosiasi Pedagang dan Industri (Apindo) dan Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) beberapa hari lalu. Pada pertemuan itu, dia memberikan waktu transisi selama 3 bulan untuk mengizinkan para pengusaha menyesuaikan sistem administrasinya.
Selain itu, pemberi saran ini juga memberikan kemudahan bagi para pelaku usaha untuk tidak menerapkan pemberlakuan sanksi bila terjadi keterlambatan atau kesalahan penerbitan faktur pajak. Kemudian, bagi para pelaku usaha yang sudah melakukan kesalahan dan memungut PPn 12 persen kepada konsumen, DJP memerintahkan agar kelanjutannya kembalikan sisa lebih PPn tersebut kepada konsumen.
“ Kami setuju dan beberapa hari yang lalu, pelaku pun juga sudah menginformasikan bahwa restitusi akan dilakukan oleh penjual yang membayarkan lebih banyak PPN kepada konsumen. Bagaimana caranya? Ini adalah transaksi B-to-C, business to consumer, jadi mereka (konsumen) kembali dengan menyampaikan struk yang sudah dibawa sebelumnya,” jelas Suryo.