Tiga oknum anggota Polsek Wonokromo dilaporkan ke Bidang Profesi dan Pengamanan (Propam) Polda Jawa Timur (Jatim) atas dugaan keterlibatan dalam tindakan pemerasan terhadap tujuh karyawan Toko Bogajaya. Laporan ini merupakan buntut dari gagalnya upaya mediasi yang difasilitasi oleh Kanit Reskrim Polsek Wonokromo antara pelapor, Nat, dan terlapor, suami dari Direktur PT Bogajaya. Nat yang didampingi kuasa hukumnya dari Lembaga Hukum Indonesia, Dilly Wibowo, sebelumnya telah melaporkan kasus dugaan pemerasan disertai ancaman kekerasan ke SPKT Polda Jatim.

Usai pelaporan, Nat langsung melanjutkan langkah hukum dengan menyampaikan pengaduan ke Propam Polda Jatim terhadap tiga anggota Polsek Wonokromo yang diduga ikut terlibat. “Laporan polisi terkait dugaan pemerasan dengan ancaman kekerasan telah diterbitkan, dan pengaduan terhadap tiga oknum anggota Polsek juga telah diterima oleh petugas Pendumas di Bid Propam,” kata Dilly kepada Riauaktual.com, Selasa (20/5/2025).

Selain itu, Nat juga mengadukan dugaan upaya kriminalisasi yang dilakukan oleh SP, istri dari terlapor, yang juga menjabat sebagai Direktur PT Bogajaya. Dugaan ini menguat setelah Nat menerima surat panggilan klarifikasi dari Satreskrim Polrestabes Surabaya, yang menurut Dilly, tidak disertai nomor dan tanggal dalam Surat Perintah Penyelidikannya (SP.Lidik). “Surat panggilan dari Polrestabes Surabaya itu tidak memiliki nomor dan tanggal SP Lidik, ini sangat mencurigakan dan tidak lazim secara prosedural,” ujar Dilly.

Sebelumnya, Dilly telah mengirimkan somasi kepada pihak terlapor, termasuk SP, Mon, serta pemilik toko dan cucunya. Dalam somasi itu, disebutkan bahwa telah terjadi intimidasi dan ancaman kekerasan verbal terhadap para karyawan, yang disaksikan oleh tiga anggota unit Reskrim Polsek Wonokromo. Fakta ini diakui oleh Kanit Reskrim Polsek Wonokromo, Ipda M. Zahari, saat dikonfirmasi oleh Dilly dan Nat.

Pertemuan mediasi pun diinisiasi oleh Kanit Reskrim di ruang unit Reskrim Polsek Wonokromo. Namun dalam pertemuan tersebut, hanya Aiptu Git dan SP yang hadir. Saat ditanya terkait pencairan dana Rp2 juta untuk “biaya urusan kepolisian”, SP menyangkal dana itu diberikan kepada polisi. “SP mengakui mencairkan Rp2 juta, namun menyatakan dana itu untuk biaya pengacara, bukan untuk anggota polisi,” ungkap Dilly menirukan ucapan SP dalam mediasi.

Karena tidak ada penyelesaian kekeluargaan yang dicapai, Nat dan kuasa hukumnya akhirnya melanjutkan pelaporan resmi ke Polda Jatim dan Propam. “Kami menunda pelaporan karena berharap kasus ini bisa diselesaikan secara baik-baik. Namun alih-alih mendapat jawaban atas somasi, klien kami justru dilaporkan ke Polrestabes Surabaya dengan tuduhan penggelapan dalam jabatan. Kami melihat ini sebagai bentuk intimidasi lanjutan,” jelas Dilly.

Dalam pertemuan mediasi sebelumnya, Dilly juga sempat mengingatkan penasihat hukum SP bahwa konflik ini berpotensi mencoreng nama baik perusahaan. “Brand Bogajaya bisa digugat secara perdata jika kasus ini mencuat ke publik. Belum lagi nasib anggota Polsek yang terancam sanksi dari Propam,” ucap Dilly kepada kuasa hukum SP saat itu.

Dilly menegaskan bahwa dirinya datang dari Pekanbaru ke Surabaya dengan biaya pribadi, semata-mata untuk membela hak-hak korban. “Saya bukan membela maling, saya membela hak para pekerja yang dipersekusi dan diperas. Ini soal hati nurani dan keadilan,” tutup Dilly.