Pagi itu, Kamis, 26 Juli 2001, Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita masih berkegiatan seperti biasa. Dia berangkat kerja ke Mahkamah Agung bersama sang sopir dengan menggunakan mobil Honda CRV. Syafiuddin tidak menyadari, maut sedang mengintai, ia diikuti dua orang tak dikenal yang berboncengan mengendarai motor RX-King. Saat melintasi Jalan Sunter Raya, dekat Kemayoran, terdengar ledakan. Mobilnya menabrak warung rokok dan tempat tukang cukur. Rupanya, ban kanan belakang mobil itu kena tembak sehingga oleng.
Sempat terdengar teriakan minta tolong dari dalam mobil, namun tak lama, karena motor RX-King sudah ada di depan mobil naas itu. Si pembonceng motor bergegas turun dan menodongkan senjata ke arah Syafiuddin yang masih berada di dalam mobil. Seorang saksi mata menceritakan, “Ciri-ciri orang yang menodongkan senjata itu, dia tidak pakai helm, badannya besar, tingginya sekitar 170 cm, pakai jaket hitam, celana jeans biru, dan sepatu kets putih. Kulitnya coklat kehitaman. Dia berkumis tipis dan berambut cepak.”
Sedangkan pengendara yang memboncengkan mengenakan helm, jaket kulit hitam, dan celana jeans. Situasi di tempat kejadian perkara saat itu sebenarnya cukup ramai. Tapi tidak ada satu pun yang berani bertindak lantaran si pengendara RX-King mengacungkan pistol ke arah orang-orang di sekitar tempat itu. Tiba-tiba, serangkaian letusan tembakan mengagetkan semua orang. Syafiuddin ditembak, empat kali. Timah panas itu pun tembus ke lengan, dada, dan rahang kanan Syafiuddin. Dua pelaku penembakan bergegas memacu motornya, melarikan diri.
Orang-orang yang menyaksikan kejadian tersebut langsung memberikan pertolongan. Syafiuddin masih bernapas saat itu, namun nyawanya tidak sempat terselamatkan. Sesampainya di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta Pusat, Syafiuddin telah wafat. Syafiuddin adalah hakim yang terkenal akan kredibilitasnya. Ia banyak menangani perkara besar yang menyangkut nama-nama orang penting dan berkuasa.
Sebelum pembunuhannya terjadi, ia disibukkan dengan kasus tukar guling PT Goro Batari Sakti (GBS) dengan Bulog yang menyeret nama Tommy Soeharto, anak presiden Soeharto. Melansir dari pemberitaan Tempo, kasus tukar guling PT GBS dan Bulog berpangkal sejak Soeharto masih berkuasa pada 1994. Kasus ini membawa kerugian bagi negara hingga Rp 95,6 miliar. Pada April 1999, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan membebaskan Tommy Soeharto dari segala dakwaan.
Setelah jaksa mengajukan banding di tingkat kasasi MA, Hakim Agung Syafiuddin akhirnya memvonis Tommy bersalah dengan hukuman kurungan 18 bulan penjara, ganti rugi Rp 30 miliar, dan denda Rp 10 juta pada 22 September 2000. Dia meminta grasi kepada Presiden Gus Dur. Secara bersamaan, Tommy juga mengajukan permohonan peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung. Suatu upaya hukum yang tak lazim, tentunya.
Gus Dur melalui Keputusan Presiden tertanggal 2 November 2000 menolak grasi tersebut. Itu artinya, Tommy harus menjalani hukuman di Lapas Cipinang. Namun, belum sempat dieksekusi ke lapas, Tommy kabur. Sejak saat itulah, Tommy dinyatakan sebagai buronan. Polisi kemudian mengirim 18 tim untuk melakukan penggerebekan di 18 lokasi pada 14 November 2000. Sebanyak 206 anggota polisi diturunkan untuk melakukan penggerebakan secara serentak, termasuk di kediaman keluarga besar Soeharto di Jalan Cendana, Jakarta. Salah satu target penggerebekan adalah menemukan bunker yang diduga menjadi tempat persembunyian Tommy.
Peristiwa pembunuhan Syafiuddin terjadi di waktu yang sama pada saat Polda Metro Jaya sedang memburu Tommy. Hal ini memunculkan dugaan kuat bahwa Tommy terlibat dalam kasus itu. Pada 6 Agustus 2001, Polisi menggerebek apartemen di Jalan Cemara, Jakpus, yang diduga dihuni oleh Tommy Soeharto. Dalam penyergapan tersebut, polisi menangkap empat pengurus gedung dan menyita delapan senjata api. Tapi Tommy tidak ditemukan juga di sana. Sehari kemudian, pada 7 Agustus 2001 malam, Polisi meringkus Mulawarman di Jalan Fatmawati Jakarta Selatan. Selang sehari, Noval Hadad ditangkap di Bidara Cina Jakarta Timur. Mulawarman yang mengendarai sepeda motor. Sedangkan Noval yang menembak Syafiuddin.
Dari kesaksiannya, mereka menyebut bahwa dalang dari pembunuhan hakim Syafiuddin adalah Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto, anak dari Presiden RI Soeharto. Keduanya mengaku diperintah Tommy dengan iming-iming akan diberi imbalan uang sebesar Rp 100 juta. Meski para eksekutor sudah ditangkap, tapi sampai saat itu Tommy belum juga tertangkap. Untuk memburu Tommy, Polda Metro Jaya membentuk sebuah tim khusus yang beranggotakan 25 orang yang terdiri dari berbagai kesatuan, seperti reserse, brimob, dan Sabhara. Mereka adalah orang-orang pilihan yang sudah teruji dan berprestasi. Tim ini diberi nama sandi Tim Kobra. Tim Kobra merupakan bagian dari Tim Khusus Anti-Teror dan Bom (ATB) yang dibentuk Kapolda Metro Jaya, Inspektur Jenderal Sofjan Jacoeb. Tim ini dipimpin Kepala Satuan Reserse Umum, Komisaris Tito Karnavian.
Tito Karnavian adalah perwira muda yang cemerlang. Di usia muda itu dia sudah meraih gelar master ilmu kepolisian Inggris. Dia juga pernah memimpin delegasi yang terdiri dari para Kepala Satuan Reserse Polres se-Jakarta untuk mengikuti kursus antiteror di Louisiana, AS. Tapi demikian, tidak mudah untuk menangkap buron sekelas Tommy Soeharto ini. Dalam pelariannya, Tommy menyamar memakai nama ibrahim. dari foto yang disebar polisi, nampak tampilannya memelihara brewok.
Berbulan-bulan diburu, Tommy tak kunjung bisa diringkus. Polisi kesulitan melacak keberadaannya. “Akhir Pelarian Tommy Soeharto” Untuk memudahkan memburu Tommy, Tito Karnavian sebagai kepala tim membagi Tim Kobra menjadi 3 unit. Salah satu unit ditugaskan untuk memelototi sekitaran Jalan Cendana, tempat dimana rumah keluarga Soeharto berada. Salah anggota tim, AKP M Saleh, sampai harus tidur sebulan lamanya beralasan tikar plastik di emperan rumah di Jln Cendana itu. Keberadaan Tommy sempat terendus disebuah apartemen kecil yang ada di kawasan Kemang akan tetapi saat digrebek lamar apartemen tersebut sudah kosong.
Tito itu kemudian menemukan jaringan komunikasi orang-orang dekat Tommy. Diketahui, pola komunikasi kerap dilakukan di empat tempat, yakni Menteng, Pondok Indah, Bintaro, dan Pejaten. Tim Kobra itu kemudian memantau sinyal telepon dan merekam pembicaraan telepon untuk mencari Tommy. Hingga kemudian penelusuran itu membawa polisi ke rumah di Jalan Maleo II Nomor 9, Bintaro Jaya, yang dicurigai jadi tempat persembunyian Tommy. Meski sudah mencurigai Tommy sembunyi di rumah itu, Tito dan timnya tidak langsung menggerebek. Tim sampai harus menempati ruko kosong yang berjarak 400 meter dari rumah yang dicurigai sebagai tempat persembunyian Tommy Soeharto.
Menemukan rumah di Jalan Maleo II Nomor 9 sebagai tempat persembunyian Tommy bukan perkara mudah, sebagaimana dibayangkan orang. Titik itu ditemukan setelah sebulan lebih Tim Kobra bekerja. Sebelumnya ada lima rumah yang dicurigai. Rumah tersebut rata-rata tidak berpenghuni atau rumah kontrakan, atau rumah yang hanya sesekali didatangi si pemilik. Bahkan untuk memastikan bahwa di rumah itu Tommy sembunyi, pada bagi buta tujuh jam sebelum penggerebekan, 2 anggota tim, Bripka Eko dan Brigadir H Siregar dari kesatuan Brimob berhasil memasang alat penyadap di ventilasi udara ruang utama rumah.
Keduanya berhasil meletakkan alat penyadap setelah itu diam-diam menyelinap ke dalam rumah. Baru setelah itu Tito dan Tim Kobra yakin jika Tommy ada di dalam rumah tersebut dan penyergapan pun dilakukan. Setelah dilakukan penggeledahan dari kamar ke kamar, di salah satu kamar Tommy ditemukan sedang tidur. Inspektur F Danang yang pertama kali menyergap Tommy. Dia yang membangunkan putra bungsu mantan Presiden Soeharto itu lalu kemudian menodongnya dengan pistol. Pelarian Tommy Soeharto pun berakhir di tangan Tim Kobra pimpinan Tito Karnavian. Saat diringkus Tommy sedang bersama seorang wanita yang tengah hamil tua Lanny Banjaranti.
Setelah menjadi buronan selama 1 tahun lebih 22 hari, pelarian Tommy pun berakhir pada 28 November tahun 2001. Penangkapan Tommy dinilai Kapolri saat itu, Jenderal Surojo Bimantoro, sebagai salah satu prestasi Polri. Karena itu 25 anggota Tim Kobra pun mendapat kenaikan satu tingkat. Tito Karnavian yang saat itu berpangkat Komisaris Polisi pun dinaikkan setingkat menjadi Ajun Komisaris Besar Polisi. Tidak hanya kenaikan pangkat, penangkapan Tommy pun menjadi salah satu momentum dalam karier Tito Karnavian. Karirnya moncer hingga akhirnya ditunjuk menjadi Kapolri dan kemudian Menteri dalam Negeri di era Presiden Jokowi. Pada pemerintahan Presiden Prabowo dia masih tetap dipertahankan sebagai Menteri Dalam Negeri.