Anggota DPRD Kuantan Singingi (Kuansing) Desi Guswita SE menilai Sekretaris DPRD Kuansing (Sekwan) tak memahami aturan. Dan kerap melanggar. Seperti tata tertib (Tatib) DPRD dan Peraturan Bupati (Perbup) yang dinilai telah langgarnya. Oleh sebab itu, Sekwan ini selayaknya dicopot dari jabatannya itu. “Alasan saya menyampaikan bahwa Sekwan tidak mengerti tatib, karena terbukti beberapa kali Sekwan ini melanggarnya,” kata Desi Guswita kepada wartawan, Selasa (6/5/2025).

Salahsatu contoh, disampaikan Desi, terjadi pada kasus pelantikan pengganti antar waku (PAW) Aldiko Putra ke Aditya Pramana. “Saya tidak mempersoalkan siapa yang di lantik, karena sah-sah saja ketika PAW terjadi. Maka penggantinya adalah suara kedua terbanyak. Tapi yang menjadi persoalannya adalah mekanismenya. Seharusnya pelantikan itu dijadwalkan dulu di Banmus. Dan bukan krasak-krusuk tak jelas. Kalau pun sangat mendesak dan harus dilakukan saat itu juga, harusnya ada revisi jadwal Banmus dan seharusnya di Paripurna. Karena agenda Dprd yang telah di tetapkan oleh Banmus hanya bisa dirubah di paripurna (Tatib DPRD). Jadwal pelantikan tidak ada dituangkan di agenda DPRD sepanjang bulan April. Tapi pelantikan terjadi di bulan April. Ini bukan hal yang untuk dipermainkan. Ini menyangkut aturan dan menyangkut kemaslahatan masyarakat,” beber Desi.

Politisi dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini mempertanyakan kelayakan seorang pejabat yang melanggar aturan untuk tetap dipertahankan. “Apakah pantas seorang yang melanggar aturan masih diberi jabatan? Karena semakin lama dia menjabat, maka semakin banyak yang akan dilanggarnya dan masyarakat yang menjadi korbannya,” tukasnya.

Desi juga menyoroti peran DPRD sebagai lembaga tempat masyarakat mengadu dan menggantungkan harapan, namun justru “dipermainkan” oleh Sekwan. Ia bahkan mempertanyakan siapa pihak yang berada di belakang Sekwan tersebut.

Lebih lanjut, Desi yang juga menjabat sebagai Ketua Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) menyoroti proses pembentukan Perda di Kuansing yang dinilai tidak sesuai mekanisme. “Perda bukanlah hal yang untuk dipermainkan. Semua ada mekanismenya dan kita wajib menjalankannya sesuai aturan yang ada,” tegasnya.

Pelanggaran lain yang diungkapkan Desi terkait dengan Perbup mengenai perjalanan dinas anggota DPRD. Ia menuding Sekwan tidak membayarkan hak-hak anggota dewan sesuai dengan aturan yang berlaku. “Selama ini hanya sesuai aturannya sendiri,” ungkap Desi, mencontohkan perbedaan interpretasi terkait pembayaran uang taksi perjalanan dinas. Menurut Perbup dan mengacu pada Perpres 33, uang taksi seharusnya dibayarkan untuk setiap arah perjalanan (bandara-hotel, hotel-lokasi, lokasi-hotel, hotel-bandara). Namun, Desi mengklaim Sekwan hanya membayarkan satu kali.

Selain itu, Desi juga menyoroti praktik pembayaran perjalanan dinas yang tidak sesuai dengan durasi riil. “Perjalanan dinas yang dilakukan 3 hari, tapi hanya dibayarkan 2 hari dengan mengabaikan bukti-bukti riil yang dilampirkan anggota dewan. Ini acap kali dilakukannya,” bebernya.

Ia mempertanyakan motif Sekwan melakukan pemotongan hak anggota dewan, apakah karena ketidaktahuan atau kesengajaan. Desi merasa heran mengapa pemerintah tidak segera mengganti pejabat yang dinilainya telah mengganggu kinerja anggota DPRD Kuansing. “Siapa yang diuntungkan di sini?” tanyanya retoris.

Sebelum menyampaikan kritiknya ke media, Desi mengaku telah melakukan berbagai upaya pendekatan internal, namun tidak membuahkan hasil. “Saya sadar betul bahwa DPRD ini dipilih oleh masyarakat untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat. Akan tetapi bagaimana anggota dewan bisa memperjuangkan hak-hak masyarakat sementara memperjuangkan hak sendiri saja tidak bisa,” tegasnya.

Akibat sikap kritisnya, Desi mengaku kerap mendapatkan tekanan dan “dicari-cari” kesalahannya, mulai dari pemanggilan partai, pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), hingga isu pemanggilan oleh Badan Kehormatan (BK) DPRD. Ia menduga ada upaya terstruktur untuk melemahkan posisinya.

Desi mencontohkan kejanggalan dalam proses pemeriksaan BPK terkait dugaan kelebihan bayar perjalanan dinas anggota DPRD periode sebelumnya. Ia mengaku informasi mengenai namanya yang masuk dalam daftar pemeriksaan bocor di internal dewan sebelum surat resmi dari BPK diterima Sekwan. Bahkan, ia mendengar adanya larangan bagi anggota dewan lain untuk tidak terlalu dekat dengannya. “Rasanya, tidak masuk akal kalau itu memang murni audit yang dilakukan tanpa kepentingan politik seperti yang pernah saya sampaikan kepada media sebelumnya,” ujarnya.

Lebih lanjut, Desi menyoroti ketidakobjektifan BPK yang hanya mengungkap temuan kelebihan bayar tanpa memperhatikan adanya kekurangan pembayaran hak-hak anggota dewan. “Harusnya dari uji petik tersebut, BPK mengevaluasi kenapa ada kelebihan bayar atau kekurangan bayar. Jadi, harus objektif dalam melakukan pemeriksaan dan audit juga dong. Jangan ada keberpihakan,” pintanya.

Desi Guswita meyakini bahwa persoalan ini merupakan isu besar yang melibatkan banyak instansi di Kuansing dan menduga ada pihak-pihak tertentu yang mengambil keuntungan dari situasi ini. Ia meminta dukungan masyarakat untuk mengawal isu ini agar para pejuang kepentingan rakyat tidak menjadi korban “para elit-elit politik”. Sekwan Bantah. Menanggapi tudingan tersebut, Sekwan Kuansing Napisman menyatakan bahwa Tatib DPRD mengatur pelaksanaan tugas anggota DPRD, bukan tugas sekretariat. “Sekwan itu petugas administratif yang memfasilitasi pelaksanaan tugas dan fungsi DPR. Jadi, tidak mungkin sekwan melanggar Tatib DPRD, karena Sekwan bukan anggota DPRD,” ujarnya singkat kepada riauin.com melalui pesan WhatsApp. Sementara menurut Desi Guswita segala sesuatu yang dilakukan di lembaga DPRD harus mengacu kepada Tatib, “Sedangkan dia sebagai Sekwan yang memfasilitasi, kenapa dia berani memfasilitasi ketika itu melanggar aturan, disinilah letak penyalahgunaan wewenang yang dia lakukan. Ini bisa di sebut mafia,” ujar Desi. (hen)