Anggaran makan dan minum di Setwan DPRD Kuantan Singingi tahun 2024 mencapai Rp 4,6 miliar, dengan lebih dari separuhnya dikelola secara swakelola. Hal ini kembali mengingatkan pada kasus serupa yang terjadi pada tahun 2017.

Pada tahun 2017, enam kegiatan dijalankan oleh Setda Kuansing dengan anggaran lebih dari Rp 13 miliar, namun banyak di antaranya merupakan kegiatan fiktif yang merugikan negara sekitar Rp 7,4 miliar. Mantan Bupati Kuansing, Mursini, divonis 4 tahun penjara karena peranannya dalam kasus tersebut.

Dalam kasus anggaran makan dan minum di Setwan DPRD Kuansing, lima pejabat struktural juga terlibat, termasuk PA, PPK, Bendahara, PPTK Kepegawaian, dan PPTK Makan-Minuman. Mereka dihukum karena mengkhianati kepercayaan publik.

Pada tahun 2024, kasus serupa kembali terjadi di Setwan DPRD Kuansing, di mana kegiatan makan dan minum kembali menjadi sorotan karena potensi penggelembungan, pengulangan fiktif, dan pengaburan mekanisme keuangan.

Swakelola seharusnya dijalankan dengan pembentukan tim, dokumen lengkap, laporan pertanggungjawaban, dan transparansi menyeluruh, namun pelaksanaannya tidak selalu sesuai dengan definisi tersebut. Indikasi menunjukkan bahwa pola yang sama diulang, dengan dana yang tidak seluruhnya berakhir di meja makan publik.

Peran Plt Sekretaris Dewan, PPK, Bendahara, Kasubag Kepegawaian, dan Kasubag Tata Usaha kembali menjadi sorotan dalam kasus ini, yang mengundang pertanyaan apakah sejarah sedang mengulangi dirinya atau kita sedang berpura-pura lupa.

Anggaran adalah wujud dari kontrak sosial, bukan milik jabatan melainkan amanah dari rakyat. Pengelolaan anggaran makan dan minum yang serampangan merupakan pengkhianatan terhadap kedaulatan rakyat.

Tulisan ini bukan vonis, melainkan peringatan agar kasus serupa tidak terulang di masa depan. Demokrasi lokal tidak boleh menjadi sarana korupsi yang merugikan negara dengan dalih legitimasi.