RIAU – Anggaran makan dan minum di Sekretariat DPRD Kuantan Singingi tahun 2024 mencapai Rp 4,6 miliar, sebagian besar dikelola secara swakelola. Angka ini mengingatkan publik pada kejadian serupa pada tahun anggaran 2017 yang menimbulkan kerugian negara hingga Rp 7,4 miliar.
Pada tahun 2017, enam kegiatan besar dibiayai melalui APBD dengan total Rp 13 miliar, termasuk dialog tokoh masyarakat, rapat koordinasi Muspida, dan penyediaan konsumsi dengan anggaran mencapai Rp 1,96 miliar. Namun banyak kegiatan yang dilaporkan secara fiktif, menyebabkan kerugian besar bagi negara dan menyeret enam orang ke meja hijau, termasuk Bupati saat itu, Mursini.
Mursini dijatuhi hukuman 4 tahun penjara dan denda Rp 100 juta di tahun 2022 karena menerima uang dan memerintahkan bawahannya menyerahkan uang kepada oknum yang mengaku sebagai petugas KPK. Vonis Mursini lebih ringan daripada bawahannya yang divonis hingga 7 tahun penjara.
Pengadilan Tinggi kemudian memperberat vonis Mursini menjadi 8 tahun penjara dan uang pengganti Rp 1,55 miliar. Kejanggalan ini mencerminkan korupsi struktural yang melibatkan berbagai pihak dalam struktur pemerintahan, dari kepala daerah hingga pejabat teknis di OPD atau satuan kerja.
Korupsi struktural terjadi karena kolusi vertikal dan horizontal, di mana atasan mengarahkan dan bawahan mengamankan serta melegitimasi. Pengawasan internal lumpuh karena sistem patron-klien, dan lembaga pengendalian seperti inspektorat sering hanya formalitas.
Ditengah sorotan terhadap anggaran 2024, kekhawatiran terhadap potensi korupsi struktural kembali muncul. Lima posisi di Sekretariat DPRD Kuantan Singingi, termasuk Plt Sekretaris, PPK, bendahara, kasubag kepegawaian, dan kasubag tata usaha, menjadi titik rawan jika tidak ada langkah korektif.
Swakelola seharusnya dijalankan dengan prinsip efisiensi dan transparansi, bukan sebagai mekanisme pembenaran belanja langsung tanpa prosedur. Pembentukan tim, dokumen pendukung, dan laporan pertanggungjawaban harus menjadi keharusan hukum.
Pengawasan harus diperkuat oleh aparat hukum, masyarakat sipil, dan media agar anggaran 2025 tidak terjebak dalam pola korupsi struktural yang sama. Penulis, sebagai praktisi dan anggota komunitas anti-korupsi, menekankan pentingnya menjaga kepercayaan publik dengan memperkuat pengawasan terhadap dana publik.