Aksi walkout dramatis Reky Fitro di tengah rapat Banmus DPRD Kuansing bukan sekadar luapan emosi seorang legislator, melainkan representasi dari keganjilan akut dalam proses Penggantian Antar Waktu (PAW). Keputusan kilat pimpinan DPRD dan Sekretariat DPRD (Setwan) melantik Aditya Pramana, mengabaikan fakta bahwa Aldiko Putra tengah gigih memperjuangkan keadilan di pengadilan, adalah sebuah preseden buruk yang menginjak-injak prinsip negara hukum.
Perbandingan yang dilontarkan Reky Fitro mengenai kasus Juprizal yang tidak melanjutkan upaya hukum ke pengadilan semakin menelanjangi standar ganda yang dipertontonkan. Mengapa hak Aldiko Putra untuk mencari keadilan justru diabaikan, sementara kasus serupa di masa lalu diperlakukan berbeda? Aroma diskriminasi dan keberpihakan terasa begitu pekat dalam kebijakan ini.
Tudingan Reky Fitro terhadap kesewenang-wenangan pucuk pimpinan DPRD dan Setwan bukan isapan jempol belaka. Kebijakan yang diambil terkesan sebagai manuver politik instan tanpa mempertimbangkan konsekuensi hukum jangka panjang. Ketergesaan yang tercermin dari rapat Banmus yang langsung disusul paripurna pelantikan di hari yang sama, bagai sebuah blitzkrieg politik, menyiratkan adanya agenda tersembunyi atau setidaknya ketidakmauan untuk menghormati proses yang semestinya.
Dalih Juprizal bahwa perannya hanya sebatas meneruskan usulan PAW setelah administrasi lengkap adalah sebuah upaya cuci tangan yang naif. Sebagai pimpinan tertinggi lembaga legislatif, Juprizal memiliki tanggung jawab moral dan hukum untuk memastikan setiap proses di bawah kepemimpinannya berjalan sesuai koridor yang berlaku.
Kepatuhannya yang buta terhadap surat pemberhentian partai, tanpa menunggu kekuatan hukum tetap, adalah sebuah abdikasi terhadap prinsip kehati-hatian dan penghormatan terhadap proses hukum.
Penjelasan pengamat hukum tata negara Universitas Riau, Zul Wisman, semakin mempertegas betapa krusialnya menghormati upaya hukum yang ditempuh Aldiko Putra. Dalam negara hukum, setiap warga negara memiliki hak yang sama di hadapan hukum, termasuk hak untuk membela diri melalui jalur peradilan.
Mengabaikan hak ini demi melantik seorang pengganti adalah sebuah kemunduran dalam penegakan supremasi hukum di tingkat daerah. Kejanggalan demi kejanggalan dalam proses PAW ini, mulai dari terbitnya SK Gubernur yang mendahului surat permohonan penangguhan dari kuasa hukum Aldiko, hingga undangan pelantikan yang beredar sebelum rapat Banmus, semakin mengukuhkan dugaan adanya desain untuk mempercepat proses ini secara tidak transparan.
Tindakan Sekretaris Dewan Kuansing yang turut serta dalam proses yang patut dipertanyakan ini juga menimbulkan tanda tanya besar mengenai profesionalisme dan independensinya. Langkah gegabah Ketua DPRD Kuansing dalam memproses PAW ini bukan hanya berpotensi cacat hukum, namun juga mencoreng marwah lembaga legislatif secara keseluruhan.
Sebab, Pasal 32 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik secara eksplisit memberikan hak kepada anggota partai yang diberhentikan untuk menyelesaikan sengketa melalui jalur hukum. Mengabaikan ketentuan ini adalah sebuah pelecehan terhadap undang-undang dan menunjukkan ketidakpahaman atau bahkan kesengajaan untuk melangkahi aturan yang ada.
Netizen kini mulai menyuarakan kekecewaannya jelas menggambarkan betapa tindakan Juprizal telah mengangkangi aturan hukum. Keputusan yang menjadi dasar PAW belum berkekuatan hukum tetap, sehingga seluruh proses, termasuk pelantikan, berada di jurang ketidakabsahan.
Ketua Gerindra Kuansing Reky Fitro menjelaskan sebagai garda terdepan penegakan hukum dan tata tertib DPRD, Juprizal diduga justru menjadi aktor utama dalam potensi pelanggaran ini. Konsekuensi dari kebijakan yang terburu-buru ini sangatlah nyata. Ketua DPRD dan Sekretaris DPRD, sebagai pihak yang turut bertanggung jawab dalam melengkapi berkas PAW yang bermasalah, sangat mungkin menghadapi gugatan hukum atas tindakan yang melampaui kewenangan dan tidak sesuai prosedur.
Skandal PAW Kuansing ini bukan sekadar persoalan internal partai atau lembaga, melainkan sebuah tamparan keras bagi penegakan hukum dan etika berpolitik di daerah. Aksi walkout Reky Fitro kemarin adalah alarm bagi seluruh anggota DPRD Kuansing. Integritas lembaga legislatif sedang dipertaruhkan. Diperlukan tindakan tegas dan korektif untuk mengembalikan kepercayaan publik.
Proses PAW yang cacat hukum ini harus ditinjau ulang, dan pihak-pihak yang bertanggung jawab atas kelalaian atau kesengajaan dalam mengabaikan proses hukum harus dimintai pertanggungjawaban. Jika tidak, preseden buruk ini akan terus menghantui dan merusak citra DPRD Kuansing sebagai representasi suara rakyat yang seharusnya menjunjung tinggi hukum dan keadilan.