Dua kakak adik warga Nias, FT (34) dan FZ (39), telah dijadikan tersangka oleh Polres Kuansing atas kasus dugaan perambahan kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) di Desa Pangkalan Indarung, Kecamatan Singingi. Kasus ini menjadi sorotan karena pemodal perambah hutan, masih dibiarkan bebas oleh pihak kepolisian. Kuasa hukum, Aliyus Laia, menyatakan hal ini sebagai bentuk ketidakadilan yang nyata, di mana dua pekerja tersebut hanya dijadikan kambing hitam.
Aliyus menegaskan bahwa dua pekerja ini hanya bekerja atas perintah seseorang berinisial R (pemodal), namun pemodal tersebut malah tidak tersentuh oleh hukum. Sebagai respons atas kasus ini, pihaknya akan mengajukan gugatan praperadilan untuk melawan kriminalisasi ini. Dia juga mempertanyakan keberanian aparat kepolisian dalam menindak pelaku utama di balik alih fungsi HPT.
Menurut Aliyus, penyidik di Polres Kuansing hanya berani menindak buruh kecil, sementara pemodal yang sebenarnya menjadi dalang perambahan hutan dilindungi. Dia menekankan bahwa klien mereka hanya bekerja untuk mencari nafkah, bukan sebagai pemilik lahan atau pelaku utama perambahan. Aliyus juga menyoroti tindakan tidak manusiawi dalam proses penangkapan yang meninggalkan seorang anak di dalam hutan tanpa pendampingan.
Aliyus menjelaskan bahwa lahan yang digarap oleh dua pekerja kakak adik ini telah lama berubah menjadi perkebunan kelapa sawit dan dihuni oleh masyarakat. Ia mempertanyakan alasan polisi yang tetap menjadikan pekerja kecil sebagai tersangka, sementara pemilik lahan tidak ditangkap. Melihat ketidakadilan yang terjadi, Aliyus mendesak Kapolri untuk turun tangan mengevaluasi kinerja di jajaran Polres Kuansing.
Sebagai bentuk protes, Aliyus menitipkan istri dan anak kliennya di Mapolres Kuansing, karena suami mereka telah ditahan tanpa dasar yang jelas. Dia menegaskan bahwa hukum harus adil dan tidak boleh digunakan sebagai alat untuk menekan mereka yang tak berdaya. Aliyus menuntut agar seluruh pihak yang terlibat dalam alih fungsi HPT diperiksa tanpa pandang bulu.