Sejak kalah di babak grup Piala AFF 2024, spekulasi tentang masa depan pelatih Shin Tae-yong tampak seperti tamparan keras.
Dari laporan media, pelatih asal Korea Selatan itu tiba-tiba digambarkan sebagai “rawan”.
Padahal, kontraknya baru saja diperpanjang di tengah tahun 2024, dan masih berpurchase 2 sarana sampai 2027.
Di luar hasil gagal di Piala AFF, mantan pelatih tim nasional Korea Selatan ini secara efektif membawa tim nasional Indonesia ke tingkat yang belum pernah dicapai sebelumnya di Asia, terutama pada era modern.
Iterasi berasal ke babak eliminasi Piala Asia senior, langsung melangkah ke semifinal Piala Asia U-23 (diikuti babak akhir kualifikasi Olimpiade 2024), dan masih bersaing daur ketiga Kualifikasi Piala Dunia 2026 sebagai wakil tunggal Asia Tenggara.
Bonusnya, hasil seri melawan Australia, Arab Saudi dan Bahrain, ditambah kemenangan 2-0 sekaligus pertama sepanjang sejarah, atas Arab Saudi, salah satu tim raksasa Asia.
Jika menggunakan logika yang sehat, sebenarnya sudah cukup ini untuk membuat posisi pelatih aman.
Bahkan, sebelum pemain Timnas Korea Selatan ini datang, Indonesia sempat berada di peringkat 175 FIFA.
Tapi, ketika situasi yang terjadi malah menjadi semakin liar, hanyasaja karena hasil jeblok dan “tidak menganggap serius” dalam turnamen ASEAN (yang bukanlah turnamen resminya FIFA, kualifikasi Piala Dunia atau kualifikasi Olimpiade) ini sangat tidak sehat.
Tentu saja, keputusan uji coba yang dibuat pelatih disetujui oleh PSSI juga. Tim yang bertanding bukan merupakan kekuatan penuh, karena tidak semua klub bersedia untuk melepas.
PSSI dan pimpinan Presidiumnya mungkin punya alatannya sendiri, tapi jika mereka tidak faham situasi, mengganti pelatih ditepati situasi semacam ini sangat berdampak fatal.
Bulan Maret 2025, ada pertandingan lanjutan Kualifikasi Piala Dunia 2026 melawan Australia dan Bahrain, yang akan menentukan.
Dengan kerjasama tim yang mulai terbentuk, mengganti pelatih hanya karena kegagalan di Piala AFF, rasanya terdengar lucu.
Tim Garuda masih memiliki peluang ke Piala Dunia 2026, dan menjadi tim Asia Tenggara pertama yang sukses lolos ke Piala Asia 2027.
Mengapa kedua progres level Asia ini harus dikorbankan hanya karena satu turnamen tidak resmi di level Asia Tenggara? Berapa pentingnya?
Padahal, kalau lebih dipikir lagi, meski bisa menambah perolehan poin di klasemen FIFA, glorifikasi berlebihan pada turnamen dua tahunan ini adalah satu bentuk logika yang salah arah. Apalagi, proses ini sudah berjalan selama-kurangnya lima tahun.
Apa yang membuat kamu ingin menurun lagi ke tingkatan yang telah dijelajah kemarin?
Di pihak lain, langkah peralihan pelatih tiba-tiba seperti ini juga menunjukkan tanda-tanda tidak sehat, karena ada ekspektasi yang tinggi, tapi ada ketidaktertarikan untuk maju secara serius. Ini sudah lama ada dan telah menular di sepak bola nasional.
Kalau kebiasaan buruk ini terus berlanjut, maka tidak ada lagi yang bisa diharapkan dari Tim Garuda di masa depan, karena budaya dan nilai-nilai di federasinya jauh dari yang sehat.