Masalah pengelolaan lahan adat seluas 2.800 hektare di Kenegerian Senama Nenek, Kecamatan Tapung Hulu, Kabupaten Kampar, Riau, terus bergulir. Selama lima tahun terakhir, lahan tersebut berada di bawah naungan Koperasi Nenek Eno Senama Nenek (KNES) dalam kerja sama kemitraan dengan PTPN V yang berakhir pada Desember 2024. Khairudin Siregar, seorang investor yang terlibat dalam pengelolaan lahan itu, mengaku tetap melanjutkan pengelolaan meski perjanjian kerja sama sudah berakhir. “Saya tahu perjanjian itu sudah habis, tetapi uang saya sudah banyak terpakai. Kalau tidak dilanjutkan, siapa yang akan menggantinya,” ujarnya, Minggu (2/2/2025).
Menurut Khairudin, sejak 2020 ia telah menginvestasikan dana sekitar Rp8,5 miliar untuk pengelolaan lahan tersebut, termasuk Rp5 miliar untuk pasokan pupuk dan Rp3,5 miliar untuk mengatasi masalah internal KNES yang berlangsung hingga April 2024. “Uang itu bukan cuma-cuma, tapi hasil pinjaman dari BRI,” ungkapnya. Khairudin menegaskan bahwa siapa pun yang akan mengambil alih pengelolaan lahan bukan masalah baginya, asalkan uang yang telah dia keluarkan bisa dikembalikan.
Pernyataan ini disampaikan sebagai tanggapan atas pertanyaan Juswari Umar Said dan Emil Salim, kuasa hukum Koperasi Produsen Pusako Senama Nenek (KOPOSAN), terkait dasar hukum Khairudin melalui CV Elsa yang tetap mengelola lahan adat tersebut. Pertemuan yang digelar Kamis (30/1/2025) di Dinas Perkebunan, Peternakan, dan Kesehatan Hewan Kabupaten Kampar turut dihadiri pihak Polres Kampar, Dinas Koperasi dan UMK, serta Ninik Mamak Senama Nenek.
Juswari menegaskan bahwa setelah perjanjian kerja sama KNES dan PTPN V berakhir serta mandat pengelolaan tanah ulayat dicabut, tidak boleh ada lagi aktivitas di lahan tersebut. “Kalau hasil panen sampai dijual, masuk ke rekening siapa? Ini bisa menimbulkan persoalan baru,” ujarnya. Sekitar 600 anggota yang sebelumnya tergabung dalam KNES kini telah menyatakan keluar dan bergabung dengan KOPOSAN. Ketua KOPOSAN, Alfajri, menyebutkan bahwa keputusan ini diambil karena KNES dinilai tidak transparan dalam pengelolaan keuangan hasil panen serta tidak mampu meningkatkan kesejahteraan anggota.
“Banyak dari kami hanya menerima gaji Rp1 juta, bahkan ada yang hanya Rp300 ribu per persil, dan ada yang tidak menerima gaji sama sekali selama lima tahun,” ujar Alfajri. Ia juga mengungkapkan bahwa sejumlah lahan milik masyarakat telah diperjualbelikan tanpa persetujuan pemilik sertifikat. KNES juga diketahui tidak menggelar Rapat Anggota Tahunan (RAT) selama lebih dari tiga tahun, yang secara hukum dapat menjadi alasan pembubaran koperasi berdasarkan Peraturan Menteri Koperasi Nomor 09 Tahun 2018.
Atas dasar berbagai persoalan tersebut, anggota membentuk KOPOSAN yang diharapkan dapat membawa manfaat dan kesejahteraan lebih baik bagi masyarakat Kenegerian Senama Nenek. -rls, juh.