Satu bulan penuh di tahun 2020 mendapatkan respॉनs positif dan negatif dari berbagai pihak. Meskipun kebijakan ini belum diresmikan, banyak pihak yang bertanya bagaimana dampaknya terhadap siswa-siswi non Muslim.
Meskipun tujuan kebijakan ini memang untuk memberikan kemudahan bagi para pelajar muslim agar fokus pada ibadah di bulan Ramadan, namun dalam konteks toleransi beragama di Indonesia, wacana ini perlu dipertimbangkan kembali mengingat banyak juga siswa-siswi non-muslim di Indonesia.
Pada masa kepemimpinan Presiden ke-4 Abdurrahman Wahid atau Gus Dur pada tahun 1999, kebijakan libur sekolah selama 1 bulan Ramadan pernah dijalankan. Selain menetapkan libur sekolah sebulan penuh, sekolah-sekolah juga ditanjembangkan untuk mengadakan kegiatan seperti pesantren kilat. Tujuan dari program ini adalah agar para siswa bisa lebih mendalami ajaran Islam selama bulan Ramadan.
Dalam kegiatan ini, pihak sekolah juga mengingatkan murid untuk mencatat dan melaporkan aktivitas ibadah mereka, seperti membaca Al-Qur’an (tadarus) hingga menunaikan salat tarawih.
Namun kebijakan ini tidak berlangsung lama dan hanya berlaku pada masa itu. Setelah periode presiden ke-4 berakhir, ketentuan tentang libur sekolah selama Ramadan kembali ke aturan sebelumnya, yaitu libur selama tiga hari di awal bulan puasa. Kebijakan ini kemudian diserahkan kepada pemerintah daerah dan sekolah untuk disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi setiap daerah masing-masing.
Andi Subkhan, seorang Observer pendidikan dari Universitas Negeri Semarang (Unnes) juga berbicara kemudian. Ia mengatakan bahwa penting bagi pemerintah untuk kembali mempertimbangkan keberagaman dan latar belakang siswa-siswi di Indonesia. Edi berbicara ini ketika didaulat berkomentar pada Selasa, 31 Desember 2024.
“Jika libur satu bulan penuh, agenda yang paling mungkin adalah pesantren kilat bagi siswa Muslim. Namun, bagaimana dengan siswa non-Muslim?” demikian kata Edi.
Edi juga menekankan perlu untuk membuat rencana kurikulum yang matang terlebih dahulu. Diskusi tentang libur Ramadan memang adalah momen yang tepat bagi para siswa muslim untuk fokus pada ibadah, tapi perlu juga memperhatikan hal-hal penting lainnya, jangan sampai kebijakan ini malah memberi ketidaknyamanan pada siswa-siswi yang non muslim.
Payung Hukum
“Kebijakan seperti ini memerlukan payung hukum yang jelas,” kata Edi. Ia menambahkan saran, fokus pembelajaran siswa agama Islam dapat dilakukan di bulan Ramadan, sedangkan untuk materi lainnya dapat disebar di bulan lainnya.
Tidak hanya Edi, beberapa pihak juga menyoroti potensi ketidaksetaraan pendidikan yang dapat timbul akibat keputusan ini. Jika sepanjang bulan Ramadan siswa Muslim lebih banyak berfokus pada pendidikan keagamaan, maka dibutuhkan strategi yang efektif untuk memastikan bahwa proses belajar mata pelajaran umum tetap berjalan dengan optimal setelah bulan Ramadan berakhir.
Politikus Ledia Hanifa Amaliah, anggota Komisi X DPR, menyatakan setuju bahwa ide penelitian tentang libur sekolah ini perlu dilakukan kembali dan dianalisis. Menurut Ledia, penelitian dan analisis ini dapat menemukan kelebihan dan kekurangan tentang kebijakan cuti sekolah di bulan Ramadan akan ditetapkan. Dia juga menyoroti target dari kegiatan belajar mengajar.
Tidak hanya Ledia, Menko PMK Muhaimin Iskandar alias Cak Imin juga menyokong pendapat yang sama. Ia berpendapat rencana sekolah libur hingga 1 bulan pada bulan Ramadhan tidak harus diterapkan.
Pesan Cak Imin adalah: Jawaban atas pertanyaan komentar: Cak Imin mengatakan bahwa konsep dari kebijakan ini masih sementara jelas. “Saya rasa tidak perlu, Karena liburan Ramadan itu masih belum jelas konsepnya yaulling pada Sabtu, tanggal 11 Januari 2020 di acara talk show di sekolah surgawi wakil kantor pemuda khusus di Jakarta Selatan Gedung IMO Kalibata.
Sebulan penuh sepertinya tidak harus dilakukan dengan tergesa-gesa. Pembelajaran di sekolah sebaiknya tetap berjalan seperti kegiatan sehari-hari. Menurut Cak Imin, puasa seharusnya tidak dengan sendirinya menghentikan semuanya bagi para siswa. “Bukan hanya libur yang berlangsung lama, puasa itu seperti kebiasaan sehari-hari,” katanya.
Paragraf ini berkontribusi dalam menulis artikel ini.
Pilihan editor: