“Tanpa Batas” (YOLO), yang mendorong seseorang untuk menikmati hidup tanpa memikirkan konsekuensi apa pun.
Prinsip ini sering kali menimbulkan gaya hidup konsumtif, di mana kebahagiaan dicari melalui pengalaman atau barang-barang yang mungkin tidak sepenuhnya dibutuhkan.
Namun, semakin banyak orang mulai mempertanyakan keberlanjutan MODEL PENYIMAKAN ini, terutama dengan meningkatnya kesadaran akan pentingnya hidup minimalis.
(YONO) menjadi filosofi alternatif yang menekankan kebutuhan daripada keinginan, serta mendorong kehidupan yang lebih sederhana melalui makna.
Berikut adalah pertanyaan yang lebih spesifik tentang YONO dan bagaimana menerapkan filosofi tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Menurut Endang Mariani, pengamat kebudayaan dan psikososial, melaksanakan prinsip YONO dapat dilakukan melalui enam langkah.
1. Mengubah
Langkah utama pertama-tama untuk memulai gaya hidup YONO adalah dengan mengubah cara kita berpikir yang memang mengonsumsi.
Periksa apakah keinginanmu didorong oleh kebutuhan sebenarnya atau hanya oleh dorongan emosi saja.
“Belajar untuk mempertimbangkan, kalau itu memang kebutuhan maka dibeli, tapi kalau hanya karena dorongan emosi impulsif, maka jangan dibeli,” jelasnya.
Nilai Barang
Dalam pendapatnya, kita perlu menyadari bahwa barang-barang sebenarnya bukanlah sumber kebahagiaan dalam hidup.
Untuk mencapai kesadaran tersebut, langkah yang bisa dilakukan adalah mengganti cara melihat kita terhadap nilai suatu barang.
Hal ini misalnya seperti baju, harga jutaan dengan puluhan ribu jualannya sama saja tujuan dan fungsinya, yaitu untuk menutup aurat dan memelihara tubuh kita. Yang dibutuhkan adalah kita terlihat rapi dan pakaian kita juga pas dengan tubuh kita,” ujarnya.
“Jangan lihat atribut harga terus, toh tidak ditampilkan di luar juga kan? Tidak semua orang harus melihat harganya yang miliaran,” ujar Endang.
3. Mengurangi Paparan Media Sosial
Menurutnya, media sosial mendorong kita untuk hidup konsumtif dan menghasut perilaku impulsif.
Dia menjelaskan bahwa media sosial umumnya menampilkan gaya hidup atas sebagai standar kesuksesan, sehingga tanpa sengaja, kita merasa terdorong untuk mengikuti prilaku tersebut.
“Dengan mengurangi paparan media sosial, kita dapat menghindari tekanan sosial untuk mengikuti tren atau contoh-contoh yang dianggap seperti lambang kesuksesan,” tandasnya.
4. Prioritaskan Nilai Kualitas di Atas Kuantitas
Endang menegaskan bahwa kualitas harus menjadi prioritas sebelum kuantitas saat membeli sesuatu.
“Pilih satu barang yang tahan lama, alih-alih membeli banyak barang tetapi kualitasnya kurang,” ujarnya.
Memilih kualitas lebih banyak dari kuantitas tidak hanya lebih irit dalam jangka panjang, tetapi juga membantu kita mengurangi kebiasaan membeli barang secara tergesa-gesa.
5. Mempraktikkan
Itu niat baik, tapi pangkalnya dibuatnya semesta sedang undergo ancaman. Saya merasa sangat sedih melihat para sapi di bumi merugi. Saya mohon, teman… Bukankah selayaknya kita bertekat untuk mengatasi ancaman sediment penshilatan semesta yang disebabkan animo terhadap Semesta?
Seseorang bisa lebih mengerti apa saja yang sebenarnya memang penting untuknya dalam hidup, sehingga mempermudah proses menukar gaya hidup menuju hidup minimalis.
,” tambahnya.
6. Pilih Komunitas yang Tepat
Dalam pendapatnya, banyak komunitas sosial tertentu yang meng tasted giat hidup YOLO karena kekuatan finansial yang dimilikinya.
“Misalnya kalangan selebriti atau sosialita, yang perlu tampil dengan barang-barang berkilau dan harus sering berganti,” katanya.
Kita sering kali meletakkan kepentingan orang lain di atas diri sendiri, sehingga dapat menimbulkan tekanan untuk mengikuti standar hidup komunitasnya.
Oleh sebab itu, penting bagi kita memilih kelompok sosial tempat kita merasa nyaman tanpa terganggu tekanan.
Kecuali kita memiliki keyakinan yang kuat, tidak masalah untuk menjadi bagian dari komunitas seperti itu jika kita tidak berpikiran sama.
“Hal yang penting, ketahui nilai dan mutu diri sendiri, orang lain dapat berkenalan dengan kita apa pun yang dilakukan oleh diri kita,” pungkas Endang.