Mayat seorang perempuan ditemukan mengenaskan di sebuah gubuk di pematang sawah Desa Jagong, Nganjuk, Jawa Timur. Perempuan itu adalah seorang buruh pabrik bernama Marsinah, saat itu usianya baru 24 tahun. Ketika ditemukan, mayat Marsinah itu tergeletak dengan posisi melintang. Sekujur tubuhnya penuh luka bekas pukulan benda tumpul, kedua pergelangannya lecet, tulang punggungnya hancur, di sela-sela pahanya terdapat bercak-bercak darah. Jenazahnya kemudian dibawa ke Rumah Sakit Umum Daerah Nganjuk untuk divisum. Hasil visum et repertum menggambarkan kengerian luar biasa yang terjadi pada perempuan ini. Visum menunjukan adanya luka robek tak teratur sepanjang 3 cm dalam tubuh Marsinah. Luka itu menjalar mulai dari dinding kiri lubang kemaluan sampai ke dalam rongga perut.

Setelah dimakamkan, tubuh Marsinah diotopsi kembali. Visum kedua dilakukan tim dokter dari RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Menurut hasil visum, tulang panggul bagian depan hancur. Tulang kemaluan kiri patah berkeping-keping. Tulang kemaluan kanan patah. Tulang usus kanan patah sampai terpisah. Tulang selangkangan kanan patah seluruhnya. Labia minora kiri robek dan ada serpihan tulang. Ada luka di bagian dalam alat kelamin sepanjang 3 sentimeter. Juga pendarahan di dalam rongga perut.

Dalam persidangan, dr Abdul Mun’im Idries, dokter dari Instalasi Kedokteran Kehakiman (IKK) Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia turut ambil bagian sebagai saksi ahli. Dalam persidangan dia memaparkan kejanggalan barang bukti, kesaksian, dan hasil visum. Menurutnya, visum pertama tak sesuai standar pemeriksaan jenazah karena hanya bersifat parsial. Idries mengungkapkan bahwa penyebab kematian Marsinah bukan karena sodokkan balok tumpul, melainkan senjata api yang ditembakkan ke rongga kemaluan, hingga menghancurkan tulang di sekelilingnya.

Peristiwa ini menimbulkan dugaan bahwa pelaku yang melakukan kekerasan terhadap Marsinah hingga akhirnya meninggal bukanlah orang biasa, melainkan seseorang yang memiliki akses ke senjata api pada masa Orde Baru. Kecurigaan tertuju pada pihak militer yang pada masa Orde Baru sangat memiliki kuasa. Marsinah lahir pada 10 April 1969 di Desa Nglundo, Kecamatan Sukomoro, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur. Dia merupakan anak kedua dari tiga bersaudara yang semuanya perempuan.

Marsinah kemudian bekerja di pabrik arloji PT Catur Putra Surya atau PT CPS. Tahun 1993 buruh PT CPS digaji Rp1.700 per hari, padahal berdasarkan KepMen no 50/1992, diatur bahwa UMR Jawa Timur ialah Rp2.250 per hari. Pemprov Surabaya meneruskan aturan itu dalam bentuk Surat Edaran Gubernur Jawa Timur, yang isinya meminta agar para pengusaha menaikkan gaji buruh 20 persen. Kebanyakan pengusaha menolak aturan tersebut, termasuk PT CPS tempat Marsinah bekerja.

Pada 2 Mei 1993, Marsinah terlibat dalam rapat perencanaan unjuk rasa yang digelar di Tanggulangin, Sidoarjo. Negosiasi antara buruh dengan perusahaan PT CPS mengalami kebuntuan. Karena itu, buruh menggelar mogok kerja pada 3 Mei 1993. Namun, Komando Rayon Militer (Koramil) setempat langsung turun tangan untuk mencegah aksi para buruh PT CPS tersebut. Hal ini mengundang kecurigaan terhadap keterlibatan militer dalam masalah buruh dan pengusaha.

Kasus kematian Marsinah sangat menghebohkan pada saat itu. Tak lama setelah itu aparat menangkap 2 satpam dan 7 orang petinggi PT CPS. Mereka ditangkap secara diam-diam dan tanpa prosedur resmi. Salah satu orang yang ditangkap adalah Kepala Personalia PT CPS, Mutiari, yang kala itu sedang hamil. Berdasarkan laporan yang diterbitkan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) satpam dan pihak manajemen PT CPS itu disekap selama 19 hari di Kodam V Brawijaya. Tak ada satupun keluarga mereka yang tahu.

Orang-orang yang ditangkap itu diketahui menerima siksaan berat, baik secara fisik ataupun mental, mereka dipaksa mengaku telah merencanakan penculikan dan pembunuhan terhadap Marsinah. Para lelakinya disiksa dengan keji dengan cara-cara yang tidak manusiawi, disundut rokok, disetrum, ditelanjangi. Sementara Mutiari, kabag personalia PT CPS, satu-satunya perempuan yang disekap dan ditangkap itu, dihantam kekerasan verbal. Tujuan dari penyiksaan yang rutin itu agar satpam dan manajemen PT CPS mengaku telah merencanakan pembunuhan Marsinah.

Orang-orang yang dituduh melakukan pembunuhan terhadap Marsinah ini kemudian diajukan ke pengadilan, dengan skenario yang sudah disiapkan. Proses persidangan para tersangka yang penuh kejanggalan tidak membuat mereka terbebas dari dakwaan. Mereka diputus tetap bersalah dan divonis penjara. Pada 3 Mei 1995, Mahkamah Agung (MA) memvonis bahwa sembilan terdakwa tak terbukti melakukan perencanaan dan membunuh Marsinah. Sembilan terdakwa dibebaskan, tapi siapa pembunuh Marsinah hingga kini tak pernah diungkap pengadilan.